Urgensi Mindset Profetik

mindset profetik

Urgensi Mindset Profetik
Oleh: Yons Achmad
(Pengamat Komunikasi Digital. Pendiri Komunikasyik)

Era media sosial (medsos), setiap Anda adalah komunikator. Artinya, siapapun Anda bisa mengabarkan berita, menyiarkan informasi, juga menyampaikan opini langsung kepada publik. Baik lewat media online, chanel youtube atau akun media sosial Anda. Atau Anda memang berprofesi sebagai seorang komunikator. Penceramah, guru, pembicara publik, influencer, trainer, coach yang sering menyampaikan beragam pesan berkonten keilmuwan, pengalaman dan inspirasi (motivasi).

Sementara, zaman kiwari ini, kita kenal istilah matinya kepakaran. Seorang penulis bernama Tom Nichols mengarang buku berjudul “The Death of Expertise”. Buku yang lumayan banyak dibicarakan sejak terbit. Siapa saja berhak bicara. Bahkan banyak media memberi tempat orang-orang tidak kompeten untuk berbicara yang sebenarnya di luar kapasitasnya. Di sisi lain, mereka yang benar-benar ahli atau pakar tidak mendapat tempat.  Di dunia media, kadang bukan mereka tidak diberi tempat, tapi mereka, para ahli dan pakar itu tidak eksis di media sosial. Untuk itulah, bagi siapapun yang punya kapasitas, punya ilmu dan pengalaman. Tak ada salahnya untuk terus muncul di media sosial. Setidaknya bisa memberikan pencerahan terhadap sebuah kasus atau isu tertentu.

Menjadi sebuah pemikiran penting. Terutama bagi seorang muslim, mindset (pola pikir) semacam apa yang perlu dipegang agar sebagai komunikator Anda tidak kehilangan arah, tidak kehilangan pegangan? Nah,  kita sebut saja, yang demikian ini dengan mindset profetik. Terkait dengan bagaimana cara pandang seorang muslim yang memandang segala hal dalam perspektif profetik (kenabian) terlebih dahulu. Baru kemudian mengambil beragam khazanah keilmuwan, kebudayaan, teknologi dari berbagai sumber yang selaras dengan spirit keIslaman kontemporer.

Di lingkungan akademis, terutama dalam perspektif filsafat komunikasi, banyak orang sering menganjurkan untuk berpikir kritis.  Filsafat sendiri sudah menaruh perhatian pada komunikasi jauh hari. Aristoteles misalnya, pernah menulis buku “De Arte Rhetorica”.  Para komunikolog menyebut buku itu referensi pertama tentang retorika yang paling sistematis dan lengkap.  Hanya saja, konon filsafat tidak melihat komunikasi sebagai alat memperkokoh tujuan kelompok seperti dalam sosiologi. Filsafat melihat komunikasi secara kritis. Menganjurkan juga cara berpikir kritis.

Disebut berpikir kritis, dalam artian melihat sesuatu dengan tidak berpuas diri.  Tidak pernah membiarkan segala sesuatu selesai begitu saja. Mereka selalu siap sedia, gembira membuka kembali perdebatan bahkan pertikaian pandangan. Saya, juga pernah  gandrung dengan anjuran berpikir kritis ini. Hanya kemudian, sering berakhir dengan debat tak ada ujung. Di sana memang hadir sebuah dialektika, hanya saja tidak pernah sepakat dengan kebenaran akhir.  Setiap kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran tesis-antitesis dan antitesisnya antitesis. Begitu seterusnya.

Sampai kemudian, saya sampai pada kesimpulan. Bahwa berpikir kritis itu memang perlu untuk melatih daya akal agar selalu terus menyala. Tapi, yang paling menyelamatkan kehidupan, tentu cara pandang profetik. Sebuah mindset profetik yang sudah saya sedikit singgung diawal.  Memang, mindset profetik saja belum memberikan jaminan keselamatan, jaminan kebenaran atas  segala sesuatu. Hanya saja, setidaknya, mindset profetik menjadi titik awal sekaligus pegangan memasuki hutan belantara digital yang  liar dan mengkhawatirkan ini. []