Upaya “Mediasi” Prabowo Untuk Perdamaian Rusia-Ukraina

mediator

Upaya “Mediasi” Prabowo Untuk Perdamaian Rusia-Ukraina
Oleh: Yons Achmad
(Mediator Bersertifikat. Terdaftar di Mahkamah Agung)

Menarik mencermati isu mediasi akhir-akhir ini.  Jika biasanya di media atau media sosial, kita dipapar  isu mediasi yang  lebih sering ke persoalan rumah tangga, terutama  kawin cerai artis, kali ini isu mediasi menyentuh perang antara Rusia dan Ukraina. Prabowo, sebagai Menteri Pertahanan RI,  dinilai oleh beberapa kalangan, terutama para pengamat, sedang mencoba menjadi mediator dalam upaya mendamaikan perang Rusia-Ukraina. Tentu, isu ini tak boleh kita lewatkan begitu saja.

Terkait mediasi, saya merujuk pengertian dari Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 1 tahun 2016 di mana mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator. Secara umum, mediasi diartikan sebagai upaya atau proses untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan kesepakatan bersama melalui pihak ketiga sebagai penengah (disebut mediator) yang bersifat netral (non-intervensi) dan tidak memihak (impartial) untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk mencapai mufakat.

Dalam konflik atau sengketa antar negara, sesuai dengan konstitusi internasional, dapat diselesaikan melalui mekanisme yang ada. Misal dalam Piagam PBB. Pasal 33 menyatakan, cara penyelesaian sengketa dapat dilakukan lewat negosiasi, pencarian fakta, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan penyelesaian menurut hukum melalui badan atau pengaturan regional, atau cara damai lain yang dipilih sendiri oleh para pihak.

Upaya perdamaian, dalam beberapa isu,  upaya negosiasi sudah dilakukan Rusia-Ukraina. Negosiasi sendiri, upaya penyelesaian sengketa yang paling tradisional dan sederhana, walau tekniknya terus berkembang dari waktu ke waktu. Dalam negosiasi, tidak melibatkan pihak ketiga. Negosiasi  sendiri merupakan sebuah metode penting dan pada umumnya merupakan persoalan-persoalan yang serius dengan praktiknya harus didahulukan oleh pertukaran diplomatic (diplomatic exhanges) terlebih dahulu. Sayangnya, negosiasi  sering buntu. Maka, jalan lain seperti mediasi bisa jadi alternatif berikutnya.

Dalam mekanisme mediasi ini, para pihak memilih mediatornya, atau mediatornya dapat secara aktif menawarkan diri sebagai penengah untuk menyelesaikan sengketa. Tujuan mediasi, menjembatani supaya para pihak mau dan bersedia bertemu dan berdialog sehingga menghasilkan kesepakatan-kesepakatan (perdamaian). Dalam kasus perang Rusia-Ukraina, negara China, Uni Emrirat Arab (UEA) bahkan Israel sudah menawarkan diri, belakang Indonesia ikut “Cawe-cawe”.

Di sini, dengan kehati-hatian, saya akan coba menelisik perkara ini dalam perspektif mediasi. Bukan untuk menghakimi, tapi sekadar berbagai perspektif mengenai praktik mediasi di tanah air. Berikut pandangan saya:

Bahwa mediasi dilandasi dengan prinsip sukarela (Volunteer). Masing-masing pihak yang bertikai datang untuk bermediasi atas keinginan dan kemauan mereka sendiri secara sukarela dan tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau bekerja sama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka, bila mereka datang ke tempat perundingan atas pilihan mereka sendiri. Satu pertanyaan, apakah Rusia-Ukraina secara sukarela sepakat Indonesia jadi mediator? Tentu saja belum.

Beberapa kalangan memang menilai Indonesia punya peluang menjadi mediator. Hanya saja, tampaknya keinginan untuk berdamai belum hadir. Saat ini posisi Rusia maupun Ukraina masih belum berada pada posisi hurting stalemate atau sama-sama mengalami kerugian besar. Yang dimaksud hurting stalemate adalah kondisi eskalasi konflik tinggi sehingga keduanya sama-sama merasa lelah dengan konflik bersenjata. Alih-alih menawarkan solusi, maka peluang demikian lebih produktif jika misalnya Indonesia terus aktif melakukan pendekatan pada kedua negara yang bertikai. Lagi pula, mediator tidak menawarkan solusi karena solusi dalam mediasi ada di keduabelah pihak yang bersengketa.

Selanjutnya, sesuai dengan prinsip netralitas (Impartiality), mediator wajib memelihara dan mempertahankan ketidakberpihakannya terhadap para pihak. Harus beritikad baik dan tidak mengorbankan kepentingan para pihak, termasuk memengaruhi atau mengarahkan para pihak untuk menghasilkan klausula-klausula yang dapat memberikan keuntungan pribadi bagi mediator.

Di dalam mediasi, peran seorang mediator hanya memfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses berjalan atau tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang mediator tidak bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah pihak.

Kita cermati bagaimana Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, menyampaikan lima sarannya untuk resolusi konflik Rusia-Ukraina. Saran itu ia sampaikan pada forum International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue 20th Asia Security Summit, Singapura. Ia mengusulkan agar Dialog Shangri-La ini dapat menemukan cara yang mendesak Ukraina dan Rusia untuk segera memulai perdamaian. Dia mengusulkan beberapa garis besar saran resolusi konflik.Lima saran tersebut meliputi pertama, gencatan senjata. Dalam hal ini penghentian permusuhan di tempat pada posisi saat ini dari kedua pihak yang tengah berkonflik.

Kedua, saling mundur masing-masing 15 kilometer ke baris belakang dari posisi depan masing-masing negara saat ini. Ketiga, membentuk pasukan pemantau. Ia menyarankan PBB diterjunkan di sepanjang zona demiliterisasi baru kedua negara itu. Keempat, pasukan pemantau dan ahli dari PBB yang terdiri dari kontingen dari negara-negara yang disepakati oleh baik Ukraina dan Rusia. Kelima, PBB harus mengorganisir dan melaksanakan referendum di wilayah sengketa untuk memastikan secara objektif keinginan mayoritas penduduk dari berbagai wilayah sengketa.

Atas usulan tersebut, Ukraina menolak mentah-mentah proposal damai yang diajukan Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto. Mereka menganggap proposal itu aneh, terdengar seperti usulan Rusia, bukan Indonesia. Di media AFP, Menteri Pertahanan Ukraina, Oleksii Reznikov bilang: “Terdengar seperti usulan Rusia, bukan usulan Indonesia. Kami tidak butuh mediator seperti ini datang ke kami [dengan] rencana aneh ini”. 

Atas penolakan demikian, beragam komentar, termasuk netizen (warganet) bermunculan. Saya tak akan paparkan lebih lanjut, karena tentu sangat politis. Di sini, saya hanya ingin berbagai perspektif saja. Secara normatif, sukarela, bersikap netral, tidak berpihak, jauhi kepentingan pribadi mediator, mungkin tampak sederhana. Tapi, dalam praktiknya, mediasi memang tak sesederhana itu. Dari sini, kita belajar bahwa hasrat menawarkan solusi sering hadir ketika menjadi mediator, padahal itu bukan tugas mediator. Sebab solusi sudah ada pada pihak yang bersengketa.

Mediator juga harus dipercaya kedua belah pihak, kalau tidak, tentu kesukarelaan tidak hadir dan mediasi tidak bisa dilakukan. Dalam kasus usulan Prabowo ini, saya kira memang jauh dari apa yang disebut sebagai upaya mediasi karena prasyarat dan prinsip  yang dasar saja belum terpenuhi. Sehingga  saya kira, upaya demikian lebih kepada peran dalam “Kontribusi Pemikiran ” saja, bukan sebuah upaya serius mediasi demi perdamaian keduabelah pihak yang berperang. []