UAS Sang Komunikator

uas

Tidak ada yang salah dengan ceramah Ustaz Abdul Somad (UAS). Pemerintah Jokowi sendiri tidak melarang sang komunikator, sang penceramah ini menyampaikan pesan-pesan keagamaan di berbagai penjuru nusantara. Tak terkecuali, bisa tampil di stasiun televisi besar seperti TV One. Semua berjalan dengan baik, lancar, tidak ada persoalan. UAS terus berdakwah dengan pesan yang tegas, tidak kaku, sering diselingi beragam humor. Menjadikan publik (jamaahnya) nyaman.

Mengikuti ceramah-ceramahnya kita pasti paham. Untuk masalah yang biasa saja, ketika jamaahnya bertanya, bakal dijawabnya dengan tenang. Hanya saja, ketika menjawab pertanyaan yang sedang menjadi polemik hangat di masyarakat, semua tahu, bakal dijawab UAS dengan tegas dan nada meyakinkan. Tapi setelahnya, biasanya bakal kembali dengan suasana gembira ketika membincangkan soal agama dengan logika yang dapat dicerna, masuk akal. Ditambah bumbu humor yang dilontarkannya menjadikan sosoknya sebagai penceramah, sebagai komunikator begitu diminati banyak orang. Ceramah-ceramahnya banyak ditonton. Chanel youtube dan medsos yang menampilkannya disimak banyak orang.

Kepribadian UAS sebagai komunikator, cenderung santun, tapi berwibawa, tidak lembek kalau dihadapkan pada persoalan kekuasaan. Sikapnya tegas, bicara kebenaran sebagai kebenaran, tidak mencla-mencle, tidak takut bicara benar kepada para pejabat publik. Satu cirinya lagi yang melekat. Seperti rasulullah, beliau sering mengulang kata-kata beberapa kali jika dirasa kontennya membutuhkan penekanan tertentu. Semuanya itu tak bakal bisa dilakukannya tanpa basis keilmuwan yang cukup. Sebagus apapun sebagai komunikator, tak bisa dilepaskan dari intelektualitasnya.

UAS bukan tipe komunikator atau penceramah yang pintar bicara saja tapi tidak ada makna, miskin makna. Semua itu karena sang tokoh tak hanya bisa bermain kata, tapi memang ilmunya mumpuni. Latarbelakang pendidikannya meyakinkan. S1 Universitas Al-Azhar Mesir, S2 Institut Darul-Hadits Al-Hassaniyah Rabat Maroko, S3 Universitas Islam Omdurman Sudan. Jadi, menganggap UAS tidak punya ilmu, hanya orang naif saja yang serampangan mengatakan demikian.

Kini kita lihat dari segi kajian retorika, sebuah metode komunikasi publik, kita bisa menilainya. Misalnya dari segi ethos (kepribadian komunikator). Hal ini terkait dengan siapa yang berbicara menentukan efektivitas suatu pembicaraan. Tidak sembarang orang atau pembicara dapat diterima baik oleh audience. Hanya pembicara yang berethos saja yang dapat dengan mudah diiyakan perkataannya. Di mana, salah satu cirinya adalah sang komunikator punya kredibilitas personal. Jelas di sini UAS memiliki itu.

Selanjutnya soal pathos. Dalam karyanya “Rethorics”, Aristoteles membahas pathos sebagai persuasi pada emosi pendengar. Emosi sendiri semua perasaan yang dapat mengubah keputusan orang, kadang menyakitkan, kadang menyenangkan. Dalam dakwah, hal semacam itu sudah umum. Kita sering “ditampar” ayat yang disampaikan oleh penceramah. Masalahnya, tentu dalam hal ini, persuasi berbeda dengan provokasi.

Di mana, persuasi sendiri adalah usaha memengaruhi khalayak untuk mempercayai satu fenomena melalui kata, suara dan gambar. Hanya saja, dalam kajian media, ada perbedaan tentang bagaimana cara yang dilakukan. Dalam persuasi, cara-cara yang dilakukan dianggap masih etis. Sementara, dalam propaganda yang penuh provokasi, biasanya dilakukan dengan menghalalkan segala macam cara, barbar, kasar dan tentu saja tidak peduli etika. Di ranah ini, sangat naif kalau mengatakan bahwa UAS seorang propagandis atau provokator. Terlalu mengada-ada kalau ada yang memaksakan stigma buruk demikian.

Terakhir soal logos (format pesan retorika), mengacu kepada argumentasi. Bila ethos terkait dengan pembicara, kemudian pathos terkait dengan pendengar, maka logos terkait dengan konten pembicaraan. Yang terakhir ini yang kemudian menjadi polemik. UAS dideportasi ketika akan masuk Singapura. Dinilai sebagai penceramah yang membahayakan. Sebabnya, karena konten-konten ceramah dinilai mengandung ekstremisme dan segregasi. Sebuah wacana yang perlu mendapatkan tanggapan serius. Sepakat begitu saja opini demikian, hanya bukti bahwa siapapun kurang kritis melihat persoalan.

Saya kira tuduhan demikian sangat serius. Sayangnya, kurang ada pembelaan yang memadai dari pemerintah terhadap warganya sendiri. Bahkan buzzer-buzzer pro pemerintah cenderung menyalahkan UAS. Komentar misalnya bilang “Jaga Mulut Agar Tak Diusir Tetangga” atau mengatakan bahwa apa yang menimpa UAS “Bukan Urusan Pemerintah” adalah komentar-komentar yang kurang elok. Hanya memojokkan sang tokoh.

Hasilnya, kini, yang marak di media sosial beragam pembelaaan dari netizen (warganet) dengan beragam argumentasi yang masuk akal, jamaah UAS juga tak diam, mulai “bergerak” membela sang tokoh. Di sinilah kemudian menjadi penting perlunya pemerintah memberikan keadilan bagi warganya, baik yang pro pemerintah maupun tidak. Adil sejak dalam pikiran, adil dalam politik, adil dalam kehidupan keseharian berkebangsaan. Begitulah sebenarnya harapan warga. []

(Yons Achmad. Praktisi Komunikasi. Pendiri Komunikasyik.com)