Ternyata Ada yang Lebih Penting Dari Public Speaking

tips public speaking

Ternyata Ada yang Lebih Penting Dari Public Speaking
oleh: Yons Achmad
(Praktisi Komunikasi. CEO Komunikasyik.com)

Lihatlah di televisi atau di media sosial. Tampak bagaimana seorang tokoh, publik figur atau sosok tertentu yang begitu mahir dalam public speaking, pintar berbicara di hadapan publik. Bicaranya begitu lancar, cepat sekali  bicaranya seolah tidak ada beban, gaya bicaranya tak pernah muncul kata-kata “Ee..Eee”. Singkat kata, gayanya begitu meyakinkan.

Begitupun ketika misalnya sedang menjawab pertanyaan. Lancar sekali. Tapi, ketika penonton, pemirsa ditanya, sang tokoh itu bicara apa, sering tak bisa menjawabnya? Kenapa? Salah satunya, karena memang obrolan cas cis cus itu tak ada intinya, mengalir begitu saja, tak pernah menawarkan ide baru, gagasan di luar kebiasaan dan juga kejernihan serta pencerahan pandangan.  Singkatnya, ketika seseorang menghabiskan waktu menyimak obrolan semacam itu, tak penah ada pengetahuan baru, tak pernah hadir pemahaman yang baru.

Sampai di sini, saya tentu tak menyepelekan perihal public speaking, perkara bagaimana kita bisa berbicara di depan publik secara menarik, meyakinkan dan memikat lawan bicara. Hanya saja, saya melihat sedikit ruang yang perlu diisi, ruang yang perlu dihidupkan dalam sebuah momen yang melibatkan public speaking. Berpidato, menggelar konferensi pers, seminar dan diskusi, juga beragam acara talkshow di radio maupun di televisi.

Apa ruang yang perlu diisi itu? Sebut saja hal ini dengan nalar kritis. Tanpa adanya nalar kritis dalam setiap tampilan di publik menjadikan semuanya itu tampak hampa. Pertanyaan kecilnya, apa yang dinamakan nalar kritis itu?  Dari pengalaman sepintas, saya kadang melihat orang bicara dengan pegang data tapi tetap saja obrolan tidak relevan,  kadang ada juga yang seolah punya pandangan kritis tapi datanya ngawur.

Tapi, saya kira nalar kritis bisa didudukkan begini. Ia adalah gabungan dari kekayaan referensi (data) dan juga ketajaman analisis. Kalau hanya ada satu saja, biasanya memang nalar kritis tidak tampak.  Ia yang tampil ke publik dengan kekayaan referensi dan ketajaman analisis, hasilnya bakal memukau publik. Tak peduli bagaimana performa public speaking yang dimilikinya.

Kita bisa melihat. Misalnya, suka atau tidak suka, sebut saja intelektual publik bernama Rocky Gerung.  Nalar kritis orang ini sangat berjalan, kekayaan referensi dan ketajaman analisisnya sering memukau publik, lengkap dengan keterampilan public speakingnya. Tapi, ada juga yang nalar kritisnya tak kalah hebat, seperti seorang intelektual publik bernama  Yudi Latif,  tapi gaya bicaranya biasa saja, datar-datar saja, padahal kontennya begitu berisi. Ada juga yang nalar kritisnya bagus tapi tampilan public speakingnya belepotan, sebut saja host bernama Karni Ilyas. Tapi, apa kemudian publik meremehkan dan merendahkan Karni Ilyas? Tidak, kenapa? Karena nalar kritisnya  sangat jalan.

Begitulah. Bagaimanapun. Saya kira, memang ada yang lebih penting dari “sekadar” public speaking, yaitu kemampuan bernalar kritis. Dan hal ini tentu tidak bisa didapatkan begitu saja, semacam lewat kursus singkat layaknya kemampuan public speaking. Tidak, kemampuan nalar kritis terbangun karena rutinitas membaca, mengkaji beragam literatur, disertai dengan pergaulan, intensitas diskusi dan tukar pemikiran antar rekan sejawat.

Di situlah nalar kritis bisa terbangun. Nah, jika seseorang dengan nalar kritis ini tampil ke publik lengkap dengan keterampilan public speakingnya, kita masih optimistis bahwa ruang publik kita bakal sehat dan penuh makna. Tapi kalau sebaliknya, hanya obrolan remeh temeh tak jelas arahnya, maka ruang publik semacam itu perlu kita kritisi kembali.