Teknologi Digital, Reporter, dan “Copy Paster”

dewan pers

Dalam kata sambutannya pada acara peringatan Hari Pers Nasional di Deli Serdang, Sumatera Utara, 9 Februari 2023, Presiden Joko Widodo mengingatkan pers nasional untuk menjaga kualitas pemberitaannya sehingga mampu menjadi penjernih informasi dan referensi utama bagi publik di tengah meruahnya penyebaran hoaks atau kabar bohong.

Presiden selanjutnya mengutip data Dewan Pers yang mengungkapkan meningkatnya jumlah pengaduan masyarakat ke Dewan Pers terkait pemberitaan, yaitu dari 621 kasus pada 2021 menjadi 691 kasus pada 2022. Lebih dari 90 persen pemberitaan yang diadukan terjadi pada media daring. (Kompas, 10/2/2023)

Kecenderungan media mengabaikan prinsip-prinsip etik jurnalistik dalam pemberitaan mereka memang semakin kita rasakan belakangan ini. Kasus yang diadukan ke Dewan Pers hanyalah sebagian dari kasus-kasus yang ada karena tidak semua kasus pemberitaan yang berpotensi melanggar kode etik jurnalistik (KEJ) diadukan ke Dewan Pers.

Pemberitaan yang diadukan ke Dewan Pers umumnya adalah pemberitaan yang dianggap merugikan atau berdampak langsung kepada pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak yang merasa dirugikan itulah yang mengadu ke Dewan Pers agar memperoleh penyelesaian secara adil.

Kasusnya kebanyakan adalah pemberitaan yang tidak berimbang, yaitu pengadu diberitakan secara negatif tanpa dikonfirmasi, atau pernyataan pengadu dimanipulasi sehingga keluar dari konteks. Juga, pemberitaan yang tidak akurat, menyampaikan informasi yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

Di luar kasus seperti itu, ada pemberitaan yang berpotensi melanggar KEJ, antara lain yang bermuatan pornografi, kekerasan dan sadisme. Namun, pemberitaan seperti ini jarang diadukan ke Dewan Pers karena tidak menimbulkan kerugian langsung kepada pihak tertentu. Beberapa kali Dewan Pers secara proaktif memperingatkan, bahkan memanggil secara khusus media yang pemberitaannya mengandung muatan pornografi, kekerasan, ataupun sadisme, meskipun tidak ada pihak yang mengadukannya ke Dewan Pers.

Sebenarnya tidak semua berita yang diadukan ke Dewan Pers melanggar KEJ (Kode Etik Jurnalistik). Pada beberapa pengaduan, Dewan Pers tidak mendapati adanya pelanggaran KEJ dalam berita yang diadukan.

Sepengetahuan penulis yang selama beberapa tahun turut terlibat menangani kasus pengaduan di Dewan Pers, kasus seperti ini biasanya dialami oleh media-media yang cukup kritis. Media-media seperti ini diadukan lebih karena sikap kritis mereka yang menyinggung atau menganggu kepentingan pihak-pihak tertentu. Sedangkan karya mereka sebenarnya tidak melanggar KEJ.

Akan tetapi, jumlah pengaduan terhadap media seperti itu sangat kecil dibanding jumlah seluruh kasus yang masuk ke Dewan Pers. Sebagian besar media-media yang diadukan memang melakukan pelanggaran kode etik.
Uji informasi dan keberimbangan

Jenis pelanggaran terbanyak adalah pelanggaran terhadap kewajiban melakukan uji informasi dan memberitakan secara berimbang (cover both side). Kewajiban wartawan menguji informasi atau memverifikasi fakta dan menaati prinsip keberimbangan ini termuat jelas pada Pasal 1 dan 3 KEJ.

Pasal 1 KEJ menyatakan “wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”. Sedangkan Pasal 3 berbunyi, “wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dengan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.

Selain itu, bagi media siber, juga berlaku ketentuan dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS). Angka 2a PPMS menegaskan bahwa pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi. Angka 2b PPMS menyebutkan bahwa berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.

Verifikasi fakta dan keberimbangan merupakan prinsip-prinsip dasar jurnalisme yang wajib dipahami dan dikukuhi setiap wartawan. Oleh sebab itu, mereka yang cenderung mengabaikan prinsip-prinsip etik ini patut dipertanyakan kompetensinya. Dalam proses penyelesaian atas kasus pemberitaan yang diadukan, Dewan Pers akan mengundang pengadu maupun teradu (media yang diadukan) untuk dimintai klarifikasi.

Tak jarang Dewan Pers mendapati penanggung jawab atau pemimpin redaksi media yang diadukan tidak cukup kompeten sebagai wartawan, miskin pemahaman tentang prinsip-prinsip kerja jurnalistik. Faktanya, sebagian dari mereka belum memiliki sertifikat kompetensi Wartawan Utama, syarat bagi seorang penanggung jawab atau pemimpin redaksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/X/2019 tentang Standar Perusahaan Pers; bahkan ada yang belum pernah mengikuti uji kompetensi wartawan.

Persoalan lain yang terungkap dalam proses penanganan pengaduan di Dewan Pers yaitu menyangkut manajemen redaksi. Beberapa penanggung jawab/pemimpin redaksi media yang diadukan mengaku lalai, tidak sempat memeriksa berita-berita yang akan dipublikasikan sehingga ada berita yang masih memerlukan verifikasi dan konfirmasi lolos tertayangkan.

Pada media-media besar yang produksi beritanya mencapai ratusan per hari, kondisi seperti ini sangat mungkin terjadi. Seorang penanggung jawab/pemimpin redaksi tidak akan mampu memeriksa ratusan berita dalam sehari. Maka, manajemen redaksi sangat penting terutama untuk memastikan bahwa setiap berita yang dipublikasi sudah melalui proses kurasi secara ketat, mulai dari tahap perencanaan, peliputan di lapangan, penulisan laporan, editing, hingga penayangan di media.

Dalam konteks ini penting diperhatikan penempatan personel yang berkompeten sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya dalam struktur organisasi redaksi, mulai dari reporter, asisten redaktur, redaktur, redaktur pelaksana atau wakil pemimpin redaksi, dan pemimpin redaksi. Hanya dengan demikian, peluang terjadinya kesalahan yang berpotensi melanggar kode etik jurnalistik dapat diminimalisasi.

Faktanya, pada beberapa media terungkap bahwa penanggung jawab/pemimpin redaksi tidak terlibat dalam proses produksi berita karena bertempat tinggal di luar daerah tempat kantor media berada. Sebagian bahkan hanya dipasang saja namanya sebagai penanggung jawab atau pemimpin redaksi.
‘Copy paste’ siaran pers

Pelanggaran terhadap prinsip keberimbangan dapat terjadi antara lain karena berita yang diadukan bersumber dari siaran pers (press release) yang dimuat tanpa verifikasi dan konfirmasi dengan pihak-pihak yang diberitakan. Siaran pers dalam proses produksi berita sebenarnya hanya sebagai bahan mentah yang perlu diolah, diverifikasi faktanya dan dikonfirmasi kepada berbagai pihak yang berkaitan.

Praktiknya, banyak media memuat siaran pers apa adanya, bahkan disalin-tempel (copy paste) secara utuh. Beberapa kali Dewan Pers menerima pengaduan dari suatu pihak terhadap belasan media sekaligus, di mana berita yang diadukan dan dimuat di belasan media tersebut sama persis satu dengan lainnya.

Berita bersumber dari siaran pers suatu lembaga atau seseorang yang dimuat secara utuh, tanpa diubah dan diolah, melainkan disalin-tempel baik judul, isi, dan struktur kalimatnya termasuk typo atau kesalahan-kesalahan ketiknya. Adakalanya, berita dibuat oleh satu media kemudian disalin-tempel oleh media-media lain.

Perilaku menyalin-tempel berita, baik dari siaran pers maupun dari media lain, merupakan kecenderungan yang umum dilakukan di banyak media, terutama media daring. Kecenderungan ini sangat mudah kita lihat melalui mesin pencari Google (Google search). Apabila kita masukkan sebuah judul berita di kolom Google search, maka akan kita dapati judul berita yang sama di banyak media.

Perkembangan teknologi informasi digital, internet, sesungguhnya membuka kesempatan besar bagi media dan jurnalis untuk memproduksi berita-berita yang berkualitas. Teknologi informasi digital membantu jurnalis untuk melakukan riset, menggali data dari berbagai sumber, untuk memperkaya temuan informasi di lapangan sehingga berita yang disampaikan di media menjadi jauh lebih lengkap.

Melalui sarana digital pula dapat dihasilkan produk jurnalistik berbasis data (data journalism). Jurnalis saat ini dapat dengan mudah melakukan wawancara dengan narasumber tanpa terkendala jarak geografis, melalui perangkat komunikasi digital secara audio (telepon) maupun audio visual (video call), bahkan menayangkannya secara langsung melalui video streaming.

Dari internet wartawan dapat mempelajari banyak hal untuk meningkatkan pengetahuan tentang jurnalisme, dan mengembangkan kemampuannya dalam memproduksi berita, baik berita tekstual maupun audio visual. Berbagai pengetahuan tentang teknik jurnalistik bisa dengan mudah didapatkan di internet secara gratis.

Kemajuan teknologi informasi digital mestinya membawa harapan bagi peningkatan kualitas media dan jurnalis. Tetapi sayangnya, tidak demikian yang terjadi. Alih-alih memanfaatkan berbagai sarana dan teknologi yang semakin canggih untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya sebagai reporter paripurna, reporter berkemampuan plus sebagai peneliti atau seorang ahli, tidak sedikit jurnalis yang memanfaatkan kecanggihan dan kemudahan teknologi hanya untuk menjadi copy paster, memplagiasi karya-karya orang lain.

Perkembangan teknologi digital mendorong lahirnya banyak media baru, terutama media daring, namun tanpa didukung kecukupan modal, kecakapan manajerial bisnis dan tenaga jurnalis yang kompeten. Oleh sebab itu, hanya sebagian kecil dari mereka yang mampu bertahan hidup dan berkembang.

Setiap bulan sedikitnya 20 media baru masuk melalui laman pendataan Dewan Pers. Namun, dari jumlah itu tidak lebih dari 15 persen yang lolos verifikasi memenuhi standar perusahaan pers. Sebagian besar sisanya harus berulangkali memperbaiki diri untuk mampu memenuhi persyaratan legal administrasinya maupun konten beritanya.

Upaya membangun kehidupan pers yang sehat, dengan lembaga-lembaga pers yang profesional, para jurnalis yang berkompeten sehingga mampu menghasilkan karya-karya jurnalistik yang berkualitas, agaknya masih menjadi tantangan berat. Hal ini menjadi tanggung jawab bukan hanya satu-dua pihak, melainkan banyak pihak seperti Dewan Pers, organisasi-organisasi perusahaan pers, asosiasi wartawan, lembaga-lembaga pendidikan pers, dan pemerintah. Diperlukan kerja kolaboratif dan sinergis antarberbagai institusi untuk mewujudkan satu tujuan yang sama, yaitu jurnalisme berkualitas.

Winarto, Tenaga Ahli Dewan Pers (Sumber: Kompas 5 Maret 2023)