Strategi Komunikasi Merespon Isu FPI Reborn

fpi reborn

Munculnya aksi demo FPI Reborn yang mendukung Anies Baswedan sebagai presiden 2024 bukan soal FPI, tapi soal Anies Baswedan. Beredar kabar, konon itu FPI palsu, banyak kejanggalan, mulai plat nomor mobil komando yang ternyata pernah digunakan pada demo terkait penolakan Formula E dan mendesak KPK memeriksa Anies Baswedan. Sang koordinator aksi yang ternyata pemain lama, sampai para peserta aksi yang ternyata bayaran, juga “dikerjain” dengan undangan memimpin doa, tapi ternyata aksi politik. Belum lagi, peserta demo yang melenggang tenang dikawal polisi, padahal FPI telah dinyatakan sebagai ormas terlarang.

Sekali lagi, saya tak akan bicara soal FPI Reborn-nya, tapi akan sedikit singgung bagaimana semestinya Anies Baswedan merespon isu yang muncul ini. Seperti yang sudah-sudah, para analisis dan pengamat medioker, buzzer-buzzer politik, terus menerus melontarkan wacana bahwa kemenangan Anies Baswedan dalam pilkada DKI lalu karena memainkan isu agama, politik identitas. Wacana ini terus menerus diulang-ulang seolah-seolah benar, padahal tentu tidak demikian faktanya. Kalau dulu para penuduh ini para pendukung Jokowi-Ahok, kini mereka menjelma menjadi pendukung Ganjar Pranowo sebagai kandidat presiden 2024.

Semua itu saya kira semacam black campaign dan upaya pembunuhan kharakter (character asassination) kepada Anies Baswedan. Satu tujuan yang diharapkan, mereka menginginkan publik meyakini kalau Anies Baswedan didukung oleh ormas terlarang plus tentu stigma lain misalnya radikal atau intoleran. Narasi ini persis seperti dilontarkan Eko Kuntadhi, Ketua Umum Ganjarist yang dukung Ganjar Pranowo sebagai kandidat presiden 2024. Di media, dia gembar-gembor anti politik identitas, melawan intoleransi, melawan radikalisme, fokus atau total kecintaannya kepada NKRI, Pancasila. Faktanya, buzzer politik ini justru yang sering memainkan isu politik identitas. Untuk menstigma yang tidak sejalan. Serta, kerap berlindung dibalik kata Pancasila untuk menyerang lawan politik yang tidak didukungnya.

Lantas, bagaimana repon Anies Baswedan? Semua orang tahu, performa Anies Baswedan berkelas baik kinerja maupun tampilan luarnya. Di level nasional bisa diandalkan, di level internasional, setidaknya, dengan kemampuan bahasa Inggris yang cukup bagus dan wawasan intelektual yang mumpuni, tidak pernah memalukan bangsanya. Jadi, atas kasus ini, mari kita lihat dari bagaimana strategi merespon isu publik yang semestinya.

Pertama, strategi reaktif. Atas tuduhan politik identitas misalnya, reaksi muncul. Ketua Umum Jaringan Nasional Mileanies Pusat Muhammad Ramli Rahim menegaskan Anies tak pernah terlibat politik identitas. Ramli berpendapat Anies telah membuktikan tak ada politik identitas di DKI Jakarta selama ia memimpin. Ramli pun menuding balik relawan Ganjar memainkan politik identitas dengan menstigma pihak yang tak sejalan. “Justru kelompok-kelompok seberang yang nempel sama Ganjar memainkan Pancasila untuk memecah belah bangsa,” ucap Ramli seperti dilansir CNN Indonesia. Strategi ini kalau terus dipakai hanya menghasilkan debat kusir tak berkesudahan.

Kedua, strategi adaptif. Terkait dengan bagaimana keterbukaan hadir menyikapi isu yang berkembang. Hal ini membuka kesadaran bahwa dalam politik, isu yang memojokkan bakal terus hadir dan tak bisa dihindari. Itu sebabnya, perlu mengantisipasi dengan dialog konstruktif untuk menemukan bentuk kompromi atas isu yang beredar. Termasuk, membuka dialog yang lebih “ilmiah”, debat publik tentang apa hakikat sebenarnya politik indentitas, dan siapa sebenarnya yang memainkan isu tersebut. Di sinilah politik menjadi bukan sebatas kepentingan semata, tetapi juga bisa menampilkan wajah intelektualnya.

Ketiga, strategi respon dinamis. Di dalam sebuah perusahaan atau lembaga, respon dinamis bertujuan untuk mengantisipasi dan membantu proses pengambilan keputusan agar sesuai dengan kepentingan publik. Strategi ini memberikan arahan bagaimana kampanye melawan isu. Pendekatan ini menjadikan organisasi sebagai pelopor pendukung perubahan. Masalahnya, Anies Baswedan bukan perusahaan, bukan lembaga, bukan anggota partai. Hal ini, menjadikan dirinya sendirilah yang sebenarnya perlu melawan isu politik identitas yang dituduhkan. Kecuali, kalau memang benar-benar bakal mencalokan diri sebagai kandidat presiden di 2024 mendatang. Maka, dirinya, tim sukses, relawan bahkan partai-partai politik pendukungnya, perlu berkolaborasi, bersinergi. Tak sekadar melawan isu politik identitas, tapi menawarkan narasi baru perubahan untuk Indonesia yang lebih baik.

Saya, kira itulah beberapa hal yang bisa dilakukan. Hal ini perlu terus diperbincangkan, sebab saya kira, publik sangat tidak menginginkan arus informasi di dunia politik yang sekadar pertarungan berbagai kepentingan. Akan tetapi, juga melibatkan intelektual, akal sehat dan juga etika politik. Dengan demikian, wajah politik kita menjadi lebih beradab. Begitu harapannya.

(Yons Achmad. Praktisi Komunikasi. CEO Komunikasyik.com)