Seni Mengelola Kecewa

senyum

Hidup sekian lama di Jakarta membuat saya banyak belajar untuk tersenyum setiap kali menemui harapan yang tak sesuai kenyataan. Belajar untuk lebih matang dalam menghadapi problem hidup. Selalu berhasil? Tidak. Banyak hal yang membuat saya sakit hati. Terutama kepada pemerintah. Lebih-lebih lagi kepada aparat, terutama polisi. Ya, polisi. Berharap perlakuan mereka pada rakyat berubah sama halnya mendorong kerbau mati. Sulit. Itu sebabnya, apa boleh buat, saya memilih untuk lebih banyak berdamai. Bukan apa-apa, hanya sekadar usaha sederhana untuk menurunkan tensi emosi yang tak baik terlalu diumbar apalagi di musim pandemi ini. Walau kritik dan perlawanan kecil tetap berkobar.

Misalnya, sebagai pelaku bisnis saya merasa sulit sekali membangun usaha. Beragam perizinan dengan birokrasi yang berbelit begitu menjengkelkan. Dalam pengurusan juga harus lama menunggu, dioper sana sini. Saat bisnis berjalan tak ada peran pemerintah. Tapi sedikit saja usaha membuahkan hasil mata petugas pajak melotot tanpa ampun. Belum lagi klaim-klaim pemerintah setempat kalau ada usaha yang berhasil setelah di detik-detik terakhir membantu kalau ada mau. Bagaimana dengan polisi? Khususnya polisi lalu lintas. Cukup. Saya tak mau berdebat lagi ketika di stop. Percuma, mereka sangat ahli melihat kesalahan sekecil apapun yang kita lakukan. Hasilnya, drama akhirnya tetap harus keluar uang agar STNK dan SIM tidak ditahan. Cari aman, saya kemudian lebih suka naik kereta atau ojek online.

Tapi, masalah selalu ada. Tak semua ojek online baik, ada juga yang menjengkelkan. Hanya saja, saya telah berjanji kepada diri sendiri untuk tak mempersulit diri atau orang lain sepanjang bisa dilakukan. Hal ini saya lakukan karena saya sendiri juga merasa sering melakukan hal-hal di luar harapan orang lain, tanpa saya sadari sebelumnya dan baru sadar sekian waktu kemudian. Maka, sejak pertamakali menjadi pelanggan ojek online baik motor maupun mobil, sampai sekarang saya selalu memberikan rating bintang lima kepada semua driver online tanpa kecuali. Semuanya, tak peduli drivernya menjengkelkan sekalipun. Kenapa? Saya sadar mungkin juga kerap bikin driver kesal, misalnya saat anak-anak saya teriak-teriak di mobilnya tanpa saya bisa selalu bisa mengontrolnya. Rating kecil hanya mempersulit orang cari uang. Apa untungnya kasih rating kecil ke drivel online? Tidak ada.

Dengan pasangan juga begitu. Dulu saya membayangan sebagai suami fokus mencari nafkah saja. Urusan rumah tangga biar istri yang bereskan. Tapi kenyataan tidak demikian. Ketika istri hamil dan terus menerus berproses sampai kemudian diamanahi oleh Allah SWT empat anak: Jingga Kanaya, Java Profetika, Junta Revolta (Alm) dan Janna Ayasofia membuat saya harus maklum. Saat istri hamil dan sekian bulan pasca melahirkan, otomatis suami yang harus memasak, mencuci, nyapu, ngepel. Awalnya saya agak kecewa, ini bukan “job” saya. Tapi kemudian saya sadar, urusan rumah tangga ternyata urusan suami juga. Apalagi soal mendidik anak, ini sebenarnya tugas utama seorang ayah. Dengan menyadari demikian, membuat saya lebih slow dan senang hati menjalankan urusan-urusan itu.

Seni mengelola rasa kecewa ini bisa membantu ketenangan hati dan pikiran. Untuk apa? Agar bisa mengambil keputusan dengan akal sehat dan kejernihan pandangan. Hasilnya, tentu bakal baik dan positif bagi kehidupan. Cara paling manjur agar tak terlalu kecewa adalah dengan fokus pada sisi baik seseorang. Begitu juga menahan diri dengan tidak mengomentari semua hal. Cukup sedikit komentar, itupun yang benar-benar kita tahu ilmunya. Begini langkah sederhana kita mengelola rasa kecewa. Praktikkan dan tunggu saja, keajaiban akan datang berkumandang []

Yons Achmad. Praktisi Komunikasi. CEO Komunikasyik.com.