Saatnya Merawat Keadaban Digital

keadaban digital

Saatnya Merawat Keadaban Digital
Oleh: Yons Achmad
(Pengamat Komunikasi. CEO Komunikasyik.com)

Kita sedang berada diera banjir informasi (information overload). Alih-alih kita mendapatkan sumber yang relevan bagi kehidupan yang lebih baik, justru yang muncul adalah kegamangan. Istilah banjir informasi ini sebenarnya telah dipopulerkan jauh hari oleh Alfin Tofler, seorang futuris, penulis buku “Future Shock”  di tahun 1970.

Di mana, menurutnya, banjir informasi akan  membuat seseorang justru kesulitan mengambil keputusan. Di sisi lain,  pada level komunikasi publik, juga berpotensi menimbulkan dampak negatif berupa segregasi sosial di masyarakat. Dalam arti memunculkan fenomena pengasingan atau pengucilan individu (kelompok) tertentu. Menjadi penting kemudian, literasi digital yang mengarah kepada keadaban digital  perlu terus mendapat perhatian.

Dalam praktik komunikasi kontemporer, hadirnya keadaban digital sebenarnya merupakan puncak dari literasi digital. Hasil akhir yang tentu saja masih  perlu terus diperjuangkan. Sementara, keadaban digital merujuk pada terbentuknya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) di ranah digital.

Dewdney (2006) dalam “The New Media” mengatakan bahwa ketika bicara media baru tidak melulu tentang teknologinya, akan tetapi sangat terkait dengan konteks budaya dan praktik penggunaan medianya. Merujuk pemahaman demikian, kajian komunikasi di ranah digital tentu saja tidak melulu fokus tentang perkembangan terbaru teknologinya, justru yang lebih penting bagaimana melahirkan masyarakat yang beradab di tengah hutan belantara digital yang masing-masing penghuninya punya kencenderungan sendiri-sendiri.

Sebuah pertanyaan penting yang perlu diajukan, melihat kondisi terbaru potret masyarakat kita di ranah digital, apakah sudah mengarah kepada keadaban digital, apa malah sebaliknya, masih bar-bar?

Microsoft  pernah merilis survei  bertajuk Digital Civility Index (DCI) 2020 yang menempatkan Indonesia pada posisi 29 dari 32 negara yang disurvei terkait tingkat kesopanan dalam berperilaku di ruang digital. Survei yang kemudian menjadikan sebagian masyarakat Indonesia tidak terima, karena menilai Indonesia tidak seperti yang digambarkan dalam survei.

Sementara, Kementerian Kominfo  telah meluncurkan Indeks Literasi Digital 2021. Hasilnya, Budaya Digital mendapat skor tertinggi, Pilar Budaya Digital (digital culture) tercatat dengan skor 3,90 dalam skala 5 atau baik.

Selanjutnya,  Etika Digital (digital etics) dengan skor 3,53 dan Kecakapan Digital (digital skill) dengan skor 3,44. Sementara itu, pilar Keamanan Digital (digital safety) mendapat skor paling rendah (3,10) atau sedikit di atas sedang. Melihat survei yang dilakukan setiap tahun ini, Kominfo menyimpulkan bahwa budaya digital membaik, Indeks Literasi Digital Indonesia meningkat.

Apapun hasilnya, berpijak pada kemandirian, tentu rujukan Kominfo yang perlu diambil sebagai referensi kebijakan. Melihat hasilnya, sebuah kabar baik tampak. Setidaknya, upaya yang perlu dilakukan tentu tak lagi bagaimana melahirkan sebuah keadaban digital. Akan tetapi bagaimana terus merawat keadaban digital agar  lebik bermutu dan bermakna dari sebelumnya.

Di sini, partisipasi publik benar-benar dipertaruhkan. Saling kontrol perilaku untuk bertanggungjawab di ranah digital perlu terus digelorakan. Sementara, di level elit, khususnya kekuasaan, juga diperlukan keteladanan para pejabat publik dalam berucap dan berperilaku di ranah digital, bukan sebaliknya, justru terus sibuk memproduksi polemik, kontroversi atas beragam isu di luar substansi yang  justru merusak keadaban.  Sampai detik ini, saya kira merawat keadaan digital masih menjadi pekerjaan penting yang perlu terus dipupuk dan ditumbuhkan. []