Saat Dosen Tidak Mampu Menulis

fotarisman zaluchu

Penyimpangan dalam publikasi karya ilmiah merupakan dampak dari ketidakmampuan dosen menulis. Itulah inti masalah yang diulas oleh investigasi Kompas.

Ada anggapan bahwa dosen-dosen menerima tekanan yang begitu besar karena kebijakan pemerintah memaksa dosen harus mampu menulis di jurnal internasional bereputasi. Dengan tekanan kebijakan publikasi ilmiah yang bersifat kewajiban tersebut, maka para dosen diasumsikan banyak yang tidak sanggup. Akhirnya mereka meminta bantuan para joki karya ilmiah. Anggapan itu ada benarnya, tetapi tidak sepenuhnya bisa diterima.

Setelah ulasan investasi Kompas itu tampil selama beberapa hari, saya teringat dengan pengalaman saya. Saya pernah mendengar jika seorang mahasiswa program doktor di sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) ternyata mengupahkan disertasinya ke seseorang yang bekerja di penyedia jasa pengetikan. Bayangkan, mahasiswa program doktor, mempercayai seorang yang entah dengan latar belakang pendidikan seperti apa, menulis disertasinya. Miris. Tetapi itu bukan satu-satunya cerita.

Saya pernah juga mendengar seorang mahasiswa doktor mengupahkan disertasinya kepada seorang mahasiswa pascasarjana. Seorang calon doktor meminta bantuan mahasiswa tingkat master menuliskan karya disertasinya? Cerita-cerita di atas luput dari investigasi Kompas, karena kisah seperti ini hanya beredar diam-diam, saat kita berkomunikasi dengan mereka yang berada dalam lingkar dalam persoalan ini.


Investigasi Kompas tersebut serta kisah yang saya dengarkan di atas membuat saya membandingkan pengalaman saya saat menempuh pendidikan master dan doktor. Di University of Leeds, Inggris di mana saya menyelesaikan pendidikan di bidang kesehatan global, setiap saat seolah tidak lepas dari dunia tulis-menulis. Esai demi esai diberikan oleh dosen. Setiap mata kuliah, menuntut mahasiswa menyetorkan esai atas kasus tertentu, dihitung jumlah katanya, dan harus dipastikan bebas dari plagiarisme. Alhasil, sepanjang di sana, menulis adalah makanan sehari-hari.

Pun ketika saya menempuh pendidikan doktor di University of Amsterdam di bidang antropologi, tentu kita semua paham bahwa menulis adalah inti dari program doktor. Promotor saya punya cara memantau kami. Setiap minggu ia meminta kami menunjukkan naskah tulisan kami. Setiap minggu dipantau demikian.

Itulah proses yang terjadi berbulan-bulan lamanya. Ketika promotor melihat bahwa naskah tersebut sudah matang, naskah tersebut di-proof read. Sesudah itu kembali diperbaiki setelah dibaca ulang oleh promotor dan co-promotor. Perbaikan demi perbaikan atas tulisan disertasi pun telah menjadi makanan sehari-hari. Setelah usai, disertai tersebut kemudian dikirimkan ke sebuah tim peer-reviewer. Keputusan peer-reviewer itulah yang menentukan kita layak tampil dalam sebuah penganugerahan gelar atau tidak.

Merenungkan proses bertahun-tahun menempuh pendidikan, berkutat dengan tulis-menulis, membuat saya menyimpulkan bahwa salah satu masalah dalam dunia pendidikan kita adalah ketidakmampuan menulis. Menulis sebuah jurnal ilmiah, jelas bukan sebuah pekerjaan mudah. Perlu aturan yang harus dipahami, diikuti, dan dijadikan patokan. Itu semua memerlukan proses yang tidak sebentar.

Maka, tidak heran jika seseorang menggunakan joki, tulisannya pun dapat dipastikan jauh dari standar, dan sering dikirimkan ke jurnal yang mudah diakali. Meski belakangan berkembang pula naskah-naskah yang dibuat oleh “joki profesional”, tetap saja dosen penerima manfaat utama dari terbitnya sebuah naskah, tidak memiliki kemampuan menulis karya ilmiah.

Itulah fakta yang terjadi dan yang menurut saya telah menjadi asal-muasal munculnya tragedi menyedihkan dalam dunia akademik seperti diangkat Kompas tersebut. Maka jika pilihannya adalah dosen diminta menulis di jurnal berbahasa Indonesia saja, menurut saya itu tetap bukan jalan keluar.

Dosen dengan kemampuan menulis rendah, pun akan menempuh jalan pintas tanpa urat malu. Mereka akan mencari joki entah dari industri karya ilmiah, mahasiswa-mahasiswa, bahkan di penyedia jasa ketikan karya ilmiah, seperti saya ceritakan di atas. Lagi-lagi, penyebab utama ketidakmampuan dosen menghasilkan karya ilmiah justru adalah ketidakmampuan menulis.

Bagaimana mungkin seorang dosen bisa tidak mampu menulis? Awam mungkin bertanya seperti itu.

Faktanya, jangan dikira semua dosen bisa menulis. Kemampuan menulis tidak pernah menjadi salah satu bagian dari proses seleksi seseorang untuk dapat diangkat menjadi dosen. Seleksi administrasi, seleksi psikotes, bahkan wawancara memang dilakukan untuk menjaring dosen, tetapi kemampuan menulis esai terstandar sama sekali tidak pernah dijadikan ukuran.

Ironisnya, dosen sering berhadapan dengan tulisan mahasiswa. Bayangkan dalam setiap mata kuliah, mahasiswa menyerahkan esainya, bahkan di tahap akhir, mahasiswa menyusun tulisan akhir berupa skripsi. Apa yang akan dilakukan oleh dosen yang tidak memiliki kemampuan menulis?

Alih-alih memeriksa kualitas isi tulisan, banyak dosen hanya memeriksa kesalahan penulisan, kesalahan tata letak, dan hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan pemeriksaan kualitas. Dosen tanpa kemampuan menulis, mana bisa mengarahkan mahasiswa menulis sesuatu yang ditulis dengan baik, apalagi karya yang dapat berkontribusi bagi dunia akademik.

Ketidakmampuan dosen mengelola tulisan mahasiswa menyebabkan banyak mahasiswa mengerjakan esai sesuka hati. Mereka menggunakan naskah yang mudah tersedia di manapun karena tahu bahwa hal tersebut tidak akan diperhatikan oleh dosennya. Mereka tahu bahwa seburuk apapun esai mereka, kualitas tulisan tersebut tidak akan pernah dinilai oleh dosennya.

Maka bak kata pepatah, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Mahasiswa yang tahu “kelemahan” dosennya, tak peduli kepada pakem di dunia ilmiah. Saya pernah melihat bagaimana tinjauan pustaka skripsi mahasiswa isinya persis sama dari mahasiswa ke mahasiswa, setiap tahun begitu, tanpa pernah dapat dihentikan. Produksi karya ilmiah contek-jiplak (copy-paste) tersebut terjadi karena dosen tidak peduli pada kualitas tulisan karena tidak punya kapasitas menulis.

Lagi pula, kinerja dosen dalam menghasilkan karya ilmiah tidak pernah ditelusuri, seperti kita menilai proses mahasiswa menulis. Penilaian kepada dosen hanya ada ketika sebuah karya ilmiah dipublikasikan, sementara prosesnya amat minim diketahui.
Jadi bagaimana menciptakan dosen yang mampu menulis ilmiah?

Ini jelas tidak mudah. Banyak dosen menganggap diri sudah senior dan enggan belajar. Manakala gelar sudah mereka miliki, banyak yang merasa bahwa menulis itu bukan urusan mereka lagi. Mereka bahkan tidak malu ketika ketidakmampuan menulis itu dipampangkan ke hadapan mereka melalui rubrik pengisian beban kinerja dosen (BKD) di mana tak satupun mereka menulis karya ilmiah. Bagi dosen-dosen seperti ini, menjadi dosen cukuplah hanya mengajar, bukan menulis.

Ini yang menyulitkan perubahan. Mental tidak mau belajar menulis memang sulit diubah meski bukan tidak bisa. Saya melatih mahasiswa menulis karya ilmiah dalam kelas di mana saya mengajar. Awalnya saya meminta mereka menulis tulisan ilmiah sesuai dengan topik yang saya berikan.

Saya sudah mengajarkan kepada mereka bagaimana menggali masalah yang akan dituliskan, mengetahui jenis database publikasi ilmiah, dan cara merujuk. Semua berjalan baik. Namun ketika tiba kepada penugasan menulis, mulai muncullah masalah mental tadi. Mungkin karena terbiasa dengan cara berpikir asal setor, hampir semua menyerahkan karya tulis yang berasal dari contek-jiplak dari internet.

Saya kemudian menunjukkan kepada mereka bukti kecurangan mereka dengan memberikan hasil pemeriksaan menggunakan turnitin. Alhasil, mereka tahu bahwa saya tahu kualitas pekerjaan mereka. Dalam perjalanan kuliah, saya kemudian melatih mereka membuat kalimat sendiri, memeriksa keaslian naskah, serta menghargai proses menulis.

Pertemuan demi pertemuan menjadi ajang saya melatih mereka melewati tahapan-tahapan menulis, mulai dari membuat ide, membuat tujuan tulisan, membuat draft ide dan draft tulisan, sampai dengan membuat tulisan. Semua harus dikerjakan dengan penuh kesabaran, baik saya apalagi mereka.

Apa hasilnya akan baik semua? Tidak juga. Pada akhir semester, masih saja ada mahasiswa yang tetap merasa bahwa mereka tidak merasa perlu berlatih menulis. Persis seperti banyak dosen, ada saja yang merasa bahwa mereka tak perlu belajar menulis.

Keberadaan orang-orang yang bisa mengerjakan tulisan dengan bayaran tertentu, menjadi sebuah solusi paling praktis bagi dosen yang memiliki mental tak ingin belajar. Tetapi setidaknya, ketika ada niat belajar, mahasiswa yang ingin belajar, terbukti berlatih dengan sungguh-sungguh. Saya sangat senang ketika ada mahasiswa menyerahkan tugasnya, tingkat kesamaannya dengan dokumen di internet hanya kurang dari 5 persen.

Latihan demi latihan menulis, itulah yang kurang dari pendidikan tinggi di negeri kita. Regulasi yang ada hanya memeriksa hasil di ujung. Sementara proses menghasilkan sebuah karya ilmiah telah diakali oleh para joki. Kita perlu mengembalikan latihan-latihan menulis karya ilmiah ini sebagai bagian dari penilaian kinerja dosen. Kalau kita berani menilai proses karya ilmiah mahasiswa, kenapa kita tidak berani menilai dosennya.

Fotarisman Zaluchu, Alumni Program Doktor di AISSR University of Amsterdam, Belanda. (Sumber: Kompas 3 Maret 2023).