Resensi Buku: Saatnya Berani Berkata Benar Pada Penguasa

buku parrhesia

Saatnya Berani Berkata Benar Pada Penguasa
Oleh:Yons Achmad
(Kolumnis. Pendiri Komunikasyik.com)

Judul Buku: Parrhesia: Berani Berkata Benar
Penulis: Michel Foucault
Penerbit: Marjin Kiri
Tebal: 210 halaman

Michel Foucault (1926-1984), salah satu pemikir terbesar Prancis abad ke-20.  Teori-teorinya mengurai hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan.  Bagaimana mereka digunakan sebagai kontrol sosial melalui institusi-institusi kemasyarakatan. Ia menampik label pascamodern dan pasca strukturalis yang disematkan padanya. Dia lebih suka menyebut pemikirannya sebagai sejarah kritis modernitas. Karya-karyanya berpengaruh besar pada bidang kajian budaya, sosiologi, dan teori kritis. Foucault sering disebut sebagai “Intelektual Militan” yang giat berdemonstrasi menentang pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Buku yang berjudul Parrhesia ini adalah tulisan yang disusun dari rekaman ceramahnya. Sebelumnya, ceramah ini adalah bagian dari Seminar Foucault dalam rangka mempelajari konsep Yunani tentang Parrhesia atau “Keterusterangan dalam berbicara kebenaran”.

Sementara, orang yang menggunakan parrhesia, yakni parrhesiastes: adalah orang yang menyatakan segala sesuatu yang ia pikirkan dan tidak menyembunyikan apapun, tetapi membuka hati dan pikirannya sepenuhnya kepada orang lain melalui wacananya.

Orang dikatakan menerapkan parrhesia hanya jika terdapat risiko atau bahaya dalam mengungkap kebenaran. Misalnya, dari sudut pandang Yunani, seorang guru tatabahasa mungkin menyampaikan kebenaran kepada anak-anak didiknya. Tetapi, ia bukan seorang parrhesiastes. Namun, tatkala seorang filsuf berbicara di hadapan seorang tiran dan menegaskan kepadanya bahwa tiran tidak sejalan dengan keadilan dan kebenaran, maka sang filsuf telah berbicara benar, percaya bahwa ia telah berbicara benar, dan lebih dari itu, juga mengambil risiko.

Buku ini, kini sejatinya sangat relevan menjadi bacaan dan dipraktikkan (diamalkan). Kita dihadapkan pada kekuasaan yang sudah melampaui batas. Banyak sekali beragam kebijakan yang mengolok-olok nalar kritis masyarakat. Hanya sedikit yang berani berbicara lantang dan berkata tidak pada penguasa. Dari yang sedikit itu, sebagian besar masuk penjara. Dalam kondisi semacam ini, sebenarnya demokrasi telah mati. Intelektual kampus, orang-orang berpendidikan, memilih diam dalam rangka mencari aman. Padahal, tahu betul kekuasaan dijalankan dengan begitu amburadul, sembarangan dan mengesampingkan akal sehat.

Buku ini, sebenarnya bisa menjadi referensi bagi kaum pergerakan untuk menyalakan akal sehat kembali dan berani berkata benar pada penguasa (Speak Truth to Power).  Sayangnya, fakta yang ada, anak-anak “kiri” sebagai sasaran buku ini kini lebih banyak hanya sekadar menjadi “Anjing Ompong”. Tak lagi menjadi “Watchdog” alias anjing pengawas bagi kekuasaan. Sungguh, sebuah potret pergerakan yang menyedihkan.  Kabar baiknya,  di tengah kering kerontang pergerakan, hadir tokoh-tokoh yang berani berkata tidak pada penguasa. Siapa mereka? Suka atau tidak suka, sebut mereka ulama. Merekalah kini penyelamat akal sehat. Yang berani berkata tidak pada penguasa, walau kemudian beberapa diantaranya harus berakhir di penjara.  []