Prostitusi Online  Michat, Siapa Peduli?

prostitusi online michat

Prostitusi Online Michat, Siapa Peduli?
Oleh: Yons Achmad
(Ketua Gerakan Penyiaran Ramah Anak/GEPRA. Pendiri Komunikasyik.com)

Alkisah seorang perempuan  di Sukoharjo  umur 14 tahun (Siswa SMP) dibunuh  seseorang.  Belakangan diketahui pelaku mengenal korban di aplikasi kencan Michat. Pelaku mengaku membunuh karena tidak puas dengan layanan yang diberikan. Fakta lain, pelaku membunuh juga untuk menguasai harta korban. Sejauh ini aplikasi Michat memang dikenal sebagai aplikasi prostitusi online yang cukup populer. Pertanyaan seriusnya, siapa yang peduli masalah ini? Sementara, tak hanya perempuan dewasa yang kerap jadi korban pembunuhan, juga anak-anak di bawah umur seperti fakta di atas.

Satu  imbauan yang kerap terlontar dari para pemangku kebijakan (stakeholder). Untuk terus meningkatkan kemampuan literasi digital.  Mengimbau masyarakat untuk bisa lebih cerdas dalam menggunakan teknologi, tidak menyalahgunakan aplikasi atau teknologi yang ada.  Mengupayakan secara konsisten mewujudkan ekosistem digital yang aman dan nyaman terutama bagi anak-anak.Hanya masalahnya, upaya demikian terkesan sekadar retorika. Tentu baik,  hanya saja, mengupayakan bagaimana literasi digital benar-benar bisa menjadi gerakan dan program yang terukur keberhasilannya belum mewujud.

Sebenarnya, pemerintah punya kewenangan dalam regulasi demikian. Mengatur bagaimana teknologi informasi termasuk di dalamnya aplikasi Michat asal Cina ini tak disalahgunakan dengan peruntukkan awal pendirian.  Di mana, awalnya Michat populer dikenal sebagai aplikasi chating (ngobrol) biasa berbasis lokasi terdekat. Para pengguna bisa ngobrol dengan orang-orang yang secara lokasi dekat dengan mereka. Masalahnya kemudian, di Indonesia berkembang menjadi sarang prostitusi online. Para penjaja seks menggunakan aplikasi ini untuk menjaring pelanggannya.  Di tahun 2021 saja, pengunduh aplikasi ini menjadi 50 juta, tentu jumlah lebih besar berkali-kali lipat di 2023 ini.

Memang, persoalan prostitusi ini bukan fenomena baru. Tapi fenomena PSK sudah ada sejak dulu kala. Hanya, sekarang mereka menggunakan aplikasi yang memungkinkan “bekerja” lebih mudah. Satu keprihatinan, kemudian anak-anak di bawah umur diketahui menggunakan aplikasi ini untuk mencari uang dengan cara mudah, menjajakan diri menjadi PSK online, terlibat dalam bisnis prostitusi online. Tentu, hal ini perlu kita soroti dengan serius. Saya kira, apa yang dinamakan literasi digital, mengajak masyarakat untuk cerdas dalam menggunakan literasi digital  tak cukup.

Publik (masyarakat) harus mendorong pemerintah. Dalam hal ini misalnya Kominfo untuk bersikap tegas terhadap aplikasi seperti Michat ini. Memberikan sanksi, bahkan bisa memblokir aplikasi  karena secara langsung membiarkan aplikasinya untuk digunakan sebagai media komunikasi prostitusi online. Sampai detik ini, Michat saya kira masih melenggang dengan leluasa beroperasi di Indonesia. Sementara, korban-korban perempuan, banyak juga yang di bawah umur menjadi korban. Baik penipuan, penguasaan harta benda sampai pada menjadi korban pembunuhan. Apakah pemerintah masih berdiam diri?