Politik Baliho Puan, Efektifkah?

IMG 20210805 140031

Politik Baliho Puan, Efektifkah?
Oleh: Yons Achmad
(Pengamat Komunikasi. CEO Komunikasyik)

“Kepak Sayap Kebhinekaan,” begitu tulisan yang terpampang pada baliho politik Puan Maharani, politisi PDI Perjuangan yang juga Ketua DPR RI. Dengan foto Puan yang terpampang besar, baliho itu menyesaki sepanjang jalan di beberapa kota. Seperti biasanya, media sosial (Facebook, Twitter, Instagram dll) kemudian menjadi riuh dengan perbincangan seputar baliho itu. Pertanyaannya, apakah politik baliho itu efektif karena dinilai bisa menggebrak munculnya respon khalayak? Tunggu dulu.

Saya kira, sebelum bicara efektif atau tidak, politik baliho itu sebenarnya sebuah deklarasi politik (Political Decraration) Puan Maharani menuju 2024. Dalam gelaran pesta demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden kelak. Sebelumnya, di sosial media, kalau kita baca, yang begitu menonjol adalah tampilnya Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) yang juga tokoh PDI Perjuangan.

Sang tokoh begitu aktif menyapa masyarakat bawah (grass root) baik secara langsung mendatangi rakyatnya (dengan menggowes sepeda) maupun aktif menjawab keluh kesah warga. Jajaran dinas pemerintahan terkait juga diwajibkan punya akun twitter. Dalam 24 jam tidak menjawab respon Ganjar, pecat. Itu salah satu gaya Ganjar yang perlu diacungi jempol. Konon kabarnya, Ganjar juga mengincar kursi presiden 2024.

Apakah fenomena Ganjar ini yang kemudian membuat cemas petinggi PDIP? Saya tak tahu. Yang pasti, baliho-baliho Puan itu masih bakal terus menyesaki jalan-jalan di beberapa kota untuk sebulan sampai tiga bulan ke depan. Sebuah pesan politik yang ingin memberikan penegasan (positioning) dalam internal PDIP. “Mbak Puan dulu Mas Ganjar, bukan sampeyan.” Kalau dalam level pembacaan ditingkat internal demikian, saya kira politik baliho itu memang efektif. Ramai-ramai tokoh (politisi) PDIP berkontribusi buat pasang baliho Puan, sebagai bentuk penegasan, merapatkan barisan.

Tapi, bagaimana efektifitas dikhalayak ramai? Ini cerita lain lagi. Drone Emprit, memang mencatat sejumlah tokoh politik yang memasang baliho, hanya Puan yang popularitas atau eksposurnya (share of voices) di berita online dan Twitter berada di urutan empat besar, yakni Anies baswedan (43% berita online-50% Twitter), Ganjar Pranowo (25%-27%), Ridwan Kamil (19%-12%), dan Puan Maharani (13%-12%). Lagi-lagi, Ganjar mencemaskan. Tapi, popularitas Puan itu semacam apa?

Ada pepatah Arab “Kalau kamu pingin cepat terkenal, kencingin sumur zamzam”. Terkenal, tapi karena ketololan dan kedunguannya. Tentu, saya tak mengatakan politik baliho Puan demikian. Hanya saja, yang muncul dibalik diperbincangkannya Puan di medsos bukan sisi positifnya. Tapi, justru lebih banyak sisi negatifnya. Tak terhitung banyaknya meme-meme lelucon tentangnya. Tentu disertai suara kritis.

Yang paling menonjol bagaimana netizen sangat menyesalkan pemasangan baliho besar-besaran itu. Dianggap tidak peka, tidak punya empati di saat pandemi masih melanda sementara politisi justru sibuk tebar pesona. Belum lagi, kenapa terlalu menonjolkan “Kebhinekaan” (Keberagaman) bukan justru persatuan (Tunggal Ika). Hal ini tentu suara publik yang tak bisa dianggap enteng.

Seperti dalam alam demokrasi, semakin lama orang semakin melek politik. Keterbukaan informasi, perkembangan sosial media yang begitu pesat melahirkan pemilih yang rasional. Mengutip Prof. Firmanzah dalam buku “Marketing Politik” dalam konfigurasi ini, pemilih punya orientasi tinggi pada “Policy-Problem-Solving”. Pemilih yang lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon konstestan dalam program kerjanya. Sementara, program kerja atau “Platform” partai bisa dianalisis dalam dua hal yaitu program kerja partai di masa lampau (backward-looking) dan tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada (forward-looking).

Di ranah ini kita bisa melihat bagaimana performa partai dan performa politisi di dalamnya. Alih-alih rakyat hanya disuguhi dengan slogan-slogan yang kedaluarsa seperti “Kepak Sayap Kebhinekaan”, NKRI Harga Mati, Saya Pancasila Saya Indonesia, saya kira sudah saatnya kita melahirkan politisi dengan basis ide yang kuat dan gagasan yang menyegarkan. Itu yang diperlukan ke depan. Bukan begitu Mbak Puan? []