Penghapusan Mural Ironi Demokrasi

jokowi not found

Penghapusan Mural Ironi Demokrasi

Oleh: Yons Achmad

(Pengamat Komunikasi. CEO Komunikasyik)

“Saya kangen di demo, pemerintah perlu ada yang kontrol” kata Jokowi  sambil cengegesan dalam kampanyenya yang tayang di media suatu ketika. Saat berlangsung acara, tepuk tangan membahana menyambut ucapan Jokowi itu. Tentu hal itu sebuah harapan baru seorang calon pemimpin di negeri ini. Pemimpin egaliter yang terbuka. Tapi, harapan tinggal harapan. Ucapan itu ternyata omong kosong belaka. Hasilnya, seperti yang bisa kita saksikan sekarang ini. Pemberangusan suara yang bersebarangan dengan kekuasaan terjadi di mana-mana.

Salah satunya, pemberangusan, penghapusan mural yang mengkritik Jokowi, juga mural-mural yang mengeritik pemerintah (penguasa) lainnya. Penghapusan mural itu dilakukan karena aparat menilainya sebagai menghina lambang negara (padahal presiden bukan lampang negara), menganggu ketertiban umum, tidak ada izin, tindakan vandalisme,  atau dinilai tidak sopan. Singkat kata, mural-mural itu kini tak ada lagi. Yang tersisa hanya tembok warna hitam sebagai bukti represi (pengekangan/penindasan) yang dilakukan rezim melalui aparatnya.

Pesan-pesan politik mural “Dipaksa Sehat, Di Negara Sakit,” “Tuhan Aku Lapar,” “Jokowi 404: Not Found”, “Wabah Sesungguhnya Adalah Kelaparan” kini tak bisa kita saksikan lagi di ruang publik, walau di media sosial masih ditemukan jejaknya. Penghapusan mural oleh (aparat) pemerintah ini dinilai berlebihan, anti kritik, anti demokrasi, bahkan dinilai sebagai sebuah represi: cara-cara yang persis dilakukan oleh orde baru.  Bahkan kini, sang pembuat mural diburu polisi. Sebuah ironi bagi sebuah pemerintahan yang selalu mengagungkan demokrasi.

Dalam sejarahnya,  Mural seperti disebut Bahn dalam The Cambridge Illustrated History of Prehistoric Art, (Heri Iswandi, 2016),  merupakan seni visual yang pernah hidup di dunia dan diperkirakan telah ada jauh sebelum peradaban modern lahir yaitu sekitar 30.000 tahun SM. Sejak ditemukannya sejumlah gambar prasejarah pada dinding gua di Lascaux, di Perancis. Gambaran tersebut melukiskan aksi-aksi berburu dan aktivitas religius, sehingga seringkali hal ini disebut sebagai bentuk awal dari seni mural.

Disebutkan pula bahwa di negara-negara konflik, seperti Irlandia Utara, mural sangat mudah ditemui di semua dinding kota. Tercatat sekitar 2000 mural dihasilkan dari sejak tahun 1970 hingga sekarang dan dengan demikian Irladia Utara-lah negara yang sangat produktif menghasilkan mural. Propoganda politik menjadi tema sentral dalam mural tersebut.

Melihat sejarahnya, menjadi aneh ketika mural kemudian dipersoalkan, dicari-cari pembuatnya. Mungkin menjadi wajar ketika pelarangan demikian terjadi pada masa pemerintahan otoriter orde baru. Tapi, menjadi aneh ketika hal ini terjadi dalam pemerintahan yang konon punya iklim demokratis sekarang ini. Penghapusan dan pelarangan mural,  yang isinya sekadar kritik terhadap kekuasaan, sangat disayangkan diberangus begitu saja.

Saya kira, mural-mural demikian, semakin dilarang bakal semakin bermunculkan. Pelarangan dan pemberangusan adalah bentuk represi dan anti demokrasi. Dalam kajian komunikasi, mural adalah semacam media alternatif simbol perlawanan. Mural tak hanya sekadar ekspresi pribadi sang seniman (rakyat). Akan tetapi, mural adalah inisiatif kolektif masyarakat, suara zaman merespon keadaan. []