Pengamat Medsos: Isu Klepon Tak Islami Permainan Politik Kotor

klepon tidak islami

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Sebuah unggahan foto dengan kata-kata atau meme ‘Kue Klepon Tidak Islami’ viral di media sosial. Pengguna media sosial ramai-ramai memparodikan dan bahkan mengolok-olok agama Islam melalui meme tersebut. 

Pengamat Media Sosial, Yons Achmad, melihat unggahan tersebut hanya dipenuhi penghakiman terhadap individu atau kelompok Islam. Dia juga menganggap postingan tersebut tak lain hanya bertujuan untuk mengadu domba.

“Saya melihat komentarnya, kebanyakan berisi penghakiman terhadap individu atau kelompok Islam tertentu yang dinilainya kolot dalam beragama,” ujar Yons saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (22/7).  

“Padahal kalau kita tahu, pesan dari informasi itu adalah adu domba. Mirip dengan isu benturkan budaya (lokal) dan Islam,” sambungnya.   

Yons juga menyayangkan tak sedikitnya Muslim yang terpancing. Dia juga menduga unggahan klepon tidak islami ini memiliki motif tersembunyi.  

“Saya menilai isu ini dimainkan bukan iseng semata, tapi memang direncanakan untuk membuat kehebohan dan kita jadi  lupa pada isu yang sebenarnya lebih substantif,” jelasnya.  

“Saya melihatnya juga ini adalah permainan kotor politik. Dengan memancing-mancing isu yang berbau agama. Apakah akan berhasil? Tidak,” tambah Yons. 

Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Asrorun Niam Sholeh meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas pengunggah dan penyebar unggahan Klepon Tidak Islami. Karena secara nyata telah menyebabkan kegaduhan. 

“Termasuk elemen masyarakat yang menjadikan berita bohong itu sebagai bahan olok-olokan yang menimbulkan permusuhan, kegaduhan, dan kebencian atas dasar suku, agama, ras, dan antargolongan,” kata KH Niam kepada Republika.co.id, Rabu (22/7).

Menurutnya, unggahan foto atau meme itu berpotensi melecehkan ajaran agama. Maka meminta kepada masyarakat tidak menyebarkan kabar hoaks tersebut.

Niam juga meminta masyarakat tidak terprovokasi dan terjebak pada komentar-komentar yang melecehkan ajaran agama atau membangun stigma buruk terhadap agama. Juga tidak terprovokasi dengan narasi kebencian dan olok-olok yang bertentangan dengan hukum dan etika.

(Reporter Dea Alvi Soraya/Sumber: Republika.co.id/22 Juli 2020)