Pelajaran Drama Formula E

formula e

Dari event ajang balap mobil listrik Formula E Jakarta, kita banyak mendapatkan pelajaran. Bagaimana ketika sebuah kebijakan telah diputuskan maka langkah selanjutnya melaksanakan sebaik mungkin, ketika banyak kritikan muncul maka jawabnya adalah strategi komunikasi, ketika banyak kendala pelaksanaan maka solusinya adalah kolaborasi. Itulah yang dilakukan Anies Baswedan dalam event yang tak hanya sekadar balap mobil, tapi sebuah kampanye global untuk dunia yang lebih baik. Pelajaran-pelajaran demikian perlu kita catat sebagai sebuah sejarah yang apik, ingatan manis bagi generasi berikutnya. Kita akan bahas sepintas.

Pertama, persoalan kebijakan strategis. Dalam studi birokrasi, kebijakan publik sering dimakna sebagai sebuah keputusan pemerintah untuk memecahkan persoalan publik. Event Formula E sendiri sebenarnya bukan sekadar ajang balap semata. Ia adalah program peradaban menyelamatkan bumi. Terlalu hiperbolis, tapi memang begitulah kenyataannya. Upaya kampanye global selamatkan tempat tinggal manusia dari ancaman perubahan iklim. Ajang balap mobil listrik Formula E adalah salah satu kampanye menekan emisi karbon di udara, mengurangi penggunaan bahan bakar minyak.

Tentu sebuah kebijakan strategis, tak hanya baik bagi publik Indonesia, tapi dunia. Layaknya event berskala internasional (dunia) harusnya mendapatkan dukungan penuh presiden dengan BUMN sebagai sponsornya. Anehnya, hal itu tak terjadi, ego politik terlalu dikedepankan. Lucunya, presiden tetap datang. Istilah Jawanya, rai gedhek ra nduwe isin (muka tembok nggak tahu malu). Tapi itulah fakta politik yang terjadi hari ini, sejarah yang konyol.

Kedua, persoalan strategi komunikasi. Tak hanya dijegal sana sini. Event yang semula bakal digelar di Monas ditolak, di Gelora Bung Karno (GBK) Senayan tak dapat restu, belum lagi jegalan dan nyinyiran partai semacam PSI dan PDIP yang sampai akhir event tak pernah mendukung dan bersimpati walau sedikit saja. Akhirnya digelar di Ancol yang justru menjadi berkah tersendiri bagi Anies dengan latar bangunan bersejarah. Di sana ada bangunan megah fungsional bernama Jakarta International Stadium (JIS) sebagai karya monumental era Gubernur Anies Baswedan. Maka, strategi komunikasi yang dimainkan menjadi lebih mudah dan terarah.

Di event ini, tidak ada strategi komunikasi yang cenderung memaksa (kursif) dalam arti memaksa orang tanpa memberi kesempatan berpikir. Yang ada, ini event internasional, tak sekadar balapan mobil, tapi kampanye demi kehidupan yang lebih baik. Hasilnya, narasi yang apik bisa diterima baik dipublik. Buktinya, acara sukses digelar, penonton penuh, tidak ada kekonyolan dan kecelakaan dalam strategi komunikasi seperti kasus kecolongan performa “Pawang Hujan” di MotoGP Mandalika yang memporakporandakan esensi event itu sendiri. Sampai harus memaksakan diri hal itu sebuah kearifan lokal. Sementara, pemerintah pusat gembar-gembor soal Revolusi Industri 4.0. Ironi. Sebuah pemandangan yang memalukan.

Ketiga, persoalan kolaborasi kebijakan. Slogan misalnya “Kerja..kerja..kerja” mungkin tampak bagus sebagai pidato politik. Tapi, publik tak peduli proses. Yang diinginkan adalah hasil. Event Formula E jelas, walau prosesnya penuh drama, tapi hasilnya sukses besar. Semua itu karena kolaborasi kebijakan yang manis dari tim inti, publik serta dukungan stakeholder lain semisal dunia usaha dan partai politik (PKS, PAN, Nasdem, Demokrat dll). Dukungan penuh mereka masih ada, yang artinya tingkat kepercayaan publik pada Anies Baswedan dan tim masih ada, itu sebabnya, dukungan mereka hadir turut andil menyukseskan acara.

Tanpa kepercayaan, kolaborasi dan hasil tak bakal terwujud. Dalam kasus lain, kita bisa berkaca pada program mobil Esemka, kereta cepat JKT-Bandung, yang terakhir Ibu Kota Nusantara (IKN). Kalau di sana ada kepercayaan publik (masyarakat, dunia usaha, investor, negara lain dll), harusnya program tersebut lancar-lancar saja. Tapi, nyatanya, belum beres semua. Apa boleh buat, itulah faktanya. Dari ini, kita bisa melihat siapa pejabat publik yang benar-benar bisa bekerja, mana yang sekadar bisa omong kosong belaka. []

(Yons Achmad. Praktisi Komunikasi. Tinggal di Depok).