Merawat Bahasa Media

bahasa media

Merawat Bahasa Media
Oleh: Yons Achmad
(Praktisi Komunikasi. CEO Komunikasyik.com)

Media saat ini masih menjadi rujukan orang dalam berpikir, menentukan sikap bahkan mengambil keputusan. Tampilan luar seseorang ketika berbicara, menulis bahkan berkomentar di media sosial akan terlihat dari bacaan yang mereka konsumsi. Bayangkan orang yang secara rutin membaca Koran Kompas atau Republika baik cetak maupun online.

Biasanya, hidupnya cenderung moderat dan punya rasa toleran terhadap beragam perbedaan pandangan. Berbeda misalnya orang yang hanya mengkonsumsi media sosial plus ikut banyak group WA. Media yang dibaca hanya Seword atau Portal-Islam. Untuk menyebut contoh media yang kurang layak jadi rujukan. Apa hasilnya? Beragam kekacauan pikiran dan pandangan berserakan.Memang, tak selamanya media seperti Kompas atau Republika selalu benar.

Begitu juga media online semacam Seword atau Portal-Islam selalu salah. Semuanya mungkin mengandung kebenaran sesuai versinya masing-masing. Tapi, ada satu hal yang membedakan. Tak lain tak bukan adalah rasa bahasanya. Media professional seperti Kompas atau Republika sudah pasti menimbang-nimbang rasa bahasa yang digunakan. Tak hanya soal apakah bahasa itu benar atau tidak.

Tapi lebih kepada soal etis, apakah bahasa yang digunakan itu layak atau tidak.Menyoal rasa bahasa ini, saya teringat pesan wartawan senior dan penulis produktif Prof. Salim Said, “Kalau kamu tahu berita yang sudah dibuat hanya akan mendatangkan konflik, lebih baik tidak usah ditayangkan,” sebuah ungkapan yang selalu saya ingat. Sebuah pesan yang begitu mulia kedengarannya, tapi sulit sekali dipraktikkan di tengah persaingan bisnis media yang begitu ketat.

Apalagi, semua tahu berita dengan judul provokatif apalagi berpotensi menyinggung kelompok tertentu, konten semacam ini yang laku keras dibaca orang. Soal rasa bahasa, menjadi nomor sekian. Semua memang soal pilihan.Terkait rasa bahasa yang cenderung provokatif dan hanya memunculkan konflik, saya ambil contoh media berikut. Suara.com (30/10/20) menerbitkan berita dengan judul “Minta Poster Rizieq Dibongkar, Dewi Tanjung: Jika FPI Marah Berarti Teroris”. Berita itu bersumber dari akun Twitter Dewi Tanjung, politisi PDIP yang pandangannya kerap kontroversial, diantaranya pernah menyebut kasus penyiraman air keras dengan korban Novel Baswedan sebagai rekayasa belaka.

Sehari setelahnya, wartawan yang sama meminta komentar Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang juga petinggi FPI Novel Bakmumin lewat pesan singkat (SMS). Hasilnya, terbit berita susulan dengan judul “PA 212 Balas Dewi Tanjung soal Habib Rizieq: Hanya Komunis Benci Ulama”. Barangkali, sang wartawan atau media bersangkutan punya pandangan sah-sah saja beritakan hal itu, dengan judul dengan rasa bahasa berbau permusuhan. Toh berbasis fakta. Benar. Tapi, berita itu hanya buat gaduh, berpotensi menyulut konflik. Tak ada kepekaan rasa.Itu sebabnya, saya kira masih ada pekerjaan besar media untuk peduli terhadap rasa yang berdimensi kemanusiaan. Semua pada akhirnya memang kembali pada ideologi masing-masing media.

Tanpa adanya ideologi yang jelas, media bisa terjebak pada pemberitaaan “Semau gue” yang penting banyak “klik”. Kabar baiknya, media semacam Kompas yang dirintis Jakob Oetama itu selalu berusaha menumbuhkan jurnalisme “Compassion” (welas asih). Atau Republika yang sejak awal sangat kental dengan jurnalisme profetiknya (berbasis kenabian). Hadirnya rasa media yang lebih manusiawi masih bisa diharapkan.

Media, seperti pernah dikatakan Ashadi Siregar dalam sebuah jurnal ilmiah, memang bisa disikapi dengan dua cara. Pertama, dipandang sebagai pembentuk (moulder) masyarakat dan kedua, sebagai cermin (mirror) yang memantulkan keadaan masyarakat. Saya kira, melalui peran etis yang disandangnya, wartawan punya andil besar dalam produksi wacana di ruang publik (public-sphere). Wartawan tak sekadar kuli tinta, tapi mereka adalah pekerja kultural yang bertindak sekaligus sebagai pengabdi kemanusiaan. Wartawan, jika masih punya nurani tentu terpanggil untuk ikut peduli merawat bahasa media dengan rasa yang lebih manusiawi. []