Menjamin Keberlanjutan Media dan Jurnalisme

masduki

Harian Kompas pada halaman 8 edisi 16 Februari 2023 memuat pernyataan Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Pusat Wenseslaus Manggut yang mendorong transparansi draf Peraturan Presiden Media Berkelanjutan, yang sedang digodok Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam pernyataannya, Ketua AMSI Pusat menilai pentingnya uji publik perpres oleh komunitas pers, masyarakat sipil, dan platform global.

Perpres Media Berkelanjutan ini urgen dan sudah jamak terjadi di sejumlah negara maju, seperti Jerman dan Australia. Namun, regulasi yang berpola pikir business to business antara perusahaan pers di Indonesia dan platform digital tidak otomatis menjamin ekosistem media yang sehat. Seraya sepakat dengan aspirasi ini, penulis melalui forum ini juga ingin mengulas berbagai hal yang harus menjadi perhatian dalam penetapan regulasi ini nanti.
Tiga diskursus

Sepanjang lima tahun terakhir, isu keberlanjutan media (media sustainability) menjadi diskursus di kalangan pers dan pemerhati media global. Lembaga pemeringat keberlanjutan media yang berbasis di Washington, International Research and Exchanges Board (IREX), misalnya, setiap tahun mengeluarkan indeks global kesehatan media. Indikatornya sangat luas, dari ekonomi korporasi, teknologi, hingga jaminan kebebasan redaksional.

Frere (2013) mendefinisikan keberlanjutan media sebagai daya tahan organisasi berita dan jurnalisme di suatu negara untuk bekerja efektif menjamin tersedianya jurnalisme berkualitas menghadapi tekanan struktur politik-ekonomi.

Di Indonesia, isu ini tampak terpusat pada tiga diskursus. Pertama, keberlanjutan media konvensional (cetak, radio, dan televisi) sebagai entitas korporasi komersial pascakrisis popularitas menyusul revolusi teknologi digital. Teknologi internet telah mendisrupsi proses produksi dan distribusi berita menjadi lebih efisien dan cepat. Berita tidak lagi memerlukan birokrasi yang panjang untuk sampai ke publik. Model bisnis bergeser dari korporasi padat modal ke ”media rumahan”.

Model bisnis agregasi berita oleh platform digital berskala global memicu krisis korporasi media konvensional. Platform digital seperti Google mendominasi perolehan iklan sekaligus. Pola relasi media berita versus platform digital tidak imbang karena kontrol algoritma sepenuhnya berada di tangan korporasi digital.

Kedua, terjadinya penurunan kualitas jurnalisme secara drastis setelah merebaknya situs berita daring (online) yang hanya mengacu logika click bait, tingginya disinformasi, hoaks, dan lain-lain. Berita sebagai produk informasi mengalami krisis kualitas, dan sebagai risiko dari kualitas yang rendah, berita mengalami penurunan nilai kepublikan.

Di sisi lain, platform digital dan portal berita daring sejak kelahirannya menganut prinsip berita sebagai produk yang tersaji gratis, bukan berbayar (eceran atau berlangganan) seperti tradisi media cetak. Iklim ini menyulitkan media berita untuk menjaring pendanaan produksi dari publik.

Ketiga, pandemi Covid-19 memicu disrupsi pola kerja jurnalisme pascakebijakan pembatasan mobilitas fisik warga. Pembatasan fisik membatasi akses kerja jurnalisme di satu sisi, dan mempercepat migrasi digital bisnis media di sisi lain.

Muncul dua iklim yang saling bertolak belakang. Pertama, dua tahun Covid-19 memicu pandemi bisnis media jurnalisme, yang ditandai oleh pemutusan hubungan kerja akibat melemahnya kinerja bisnis. UNESCO (2021) merilis, 40 persen media pers mengalami krisis multidimensi yang berujung kepada pemutusan hubungan kerja, pengurangan biaya produksi, hingga penghentian produksi berita.

Berbeda dari iklim pertama, disrupsi digital juga memicu transformasi bisnis media jurnalisme konvensional. Sejumlah media berita nasional melakukan migrasi layanan berita ke platform digital sejak produksi, distribusi, hingga pemasaran.

Di luar media berita arus utama, berkembang pula inisiatif start up media jurnalisme alternatif yang menawarkan/melanjutkan jurnalisme berbasis data dan jurnalisme investigasi. Project Multatuli, Konde.co, Magdalene.co, misalnya, lahir dari jurnalis senior yang sebelumnya bekerja untuk jurnalisme media arus utama.

Fenomena ini memberi optimisme tetap hidupnya jurnalisme setelah platform berita konvensional (cetak dan siaran) semakin terpinggirkan. Jurnalisme di Indonesia tidak mati, mengalami evolusi bahkan revolusi format dan strategi diseminasi, dari platform lama ke platform baru.

Sayangnya, dari ketiga konteks di atas, konteks pertama lebih mengemuka ketimbang konteks kedua dan ketiga. Terdapat reduksi perdebatan pegiat pers dari kepentingan publik yang terganggu akibat disrupsi digital di sektor media jurnalisme, kepada semata kepentingan korporasi media yang mengalami krisis keberlanjutan usaha. Padahal, diskursus keberlanjutan media bersifat holistik: bisnis, politik redaksi, dan legalitas.

Intervensi negara

Rencana pembuatan Perpres Media Berkelanjutan harus dilihat sebagai bentuk proteksi negara atas nama kepentingan nasional terkait kedaulatan digital. Kepentingan ini melingkupi hajat hidup korporasi media untuk terus beroperasi dan juga hajat hidup publik atas layanan berita dan kegiatan jurnalisme yang sehat.

Dalam kerangka ini, semangat perpres harus menjawab keseluruhan konteks di atas, tidak semata-mata berpola pikir business to business, antara platform global dan korporasi media pers. Perpres harus menjadi pintu masuk untuk merawat jurnalisme berkualitas (good journalism), yang pada era digital tidak hanya dilayani oleh korporasi media arus utama, tetapi juga media alternatif.

Dalam upaya mencapai misi ini, draf perpres perlu dibuka kepada publik, mendapat masukan dari publik agar memenuhi seluruh kepentingan dari ekosistem jurnalisme. Langkah ini sekaligus menunjukkan keberpihakan negara kepada semua pelaku media dan jurnalisme.

Penerapan kebijakan yang hanya berfokus kepada pembagian kue iklan antara platform digital dan korporasi penyelenggara jurnalisme bersifat elitis, tidak menyentuh kepada ekosistem media dan jurnalisme digital yang kompleks. Lebih jauh, upaya penyelamatan korporasi media dari bencana bisnis hanya bersifat sektoral-institusional, dan tidak berdampak kepada kebutuhan warga digital terhadap konten berkualitas sebagai public good.

Menimbang adanya keterbatasan regulasi setingkat perpes, perlu dipikirkan juga agar posisi regulasi ini sebagai ”pintu masuk” pembuatan Undang-Undang Media Berkelanjutan di masa depan. Kita bisa belajar dari Jerman yang mempunyai UU Penanggulangan Disinformasi (Network Enforcement Act) sejak 2018.

Kita juga bisa belajar ke Irlandia yang pada 2022 membuat UU Keamanan Daring bagi warganya. UU ini secara tegas melarang platform digital menjadi ruang diseminasi ujaran kebencian dan disinformasi. Pembiaran disinformasi adalah pemicu utama krisis reputasi jurnalisme di media digital.

Masduki, Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media); Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. (Sumber: Kompas 5 Maret 2023)