Kritik Atas Literasi Moderasi Agama

moderasi agama

Kritik Atas Literasi Moderasi Agama
oleh: Yons Achmad
(Kolumnis,tinggal di Depok)

Jika literasi moderasi beragama (agama), diartikan semata-mata untuk membendung apa yang orang sering sebut dengan paham radikalisme, maka bisa dipastikan proyek ini bakal gagal total. Kenapa? Karena sasarannya tidak kepada seluruh umat beragama, tapi cenderung ke umat Islam.  Terlebih, jika kemudian malah menakut-nakuti orang Islam tentang bahaya jihad dan khilafah. Sudah jelas, proyek demikian sudah  gagal arah sejak awal. Apalagi kemudian memaksakan diri bahwa misalnya Islam yang benar adalah Islam Nusantara, yang lain salah. Maka jelas, proyek ini tidak bakal membuahkan hasil. Proyek sia-sia, unfaedah.

Lantas, ke mana arah literasi moderasi beragama seharusnya?  Kalau kita pahami sepintas, kata moderasi berasal  dari  bahasa  Arab  yang  disebut  dengan al-wasathiyah.  Secara  bahasa al-wasathiyah berasal  dari  kata wasath. Wasath  memiliki  arti  menjaga  diri  dari  sikap  menang  sendiri  bahkan meninggalkan  garis  kebenaran  agama. Dalam penjelasan lain,  bahwa  moderat  dalam  bahasa  Arab  berarti wasathiyah yang artinya berimbang dan adil. Dalam arti, tanpa adanya keseimbangan dan  keadilan  maka  moderasi  beragama tidak  akan  efektif.

Dalam perspektif lain, saya sepakat misalnya literasi agama diarahkan untuk membentuk sikap masyarakat yang moderat; yaitu masyarakat yang komitmen dengan nilai-nilai agama, tidak ekstrem ke kanan atau ekstrem ke kiri, adil dan proporsional dalam bersikap, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sekaligus menjadi warga negara yang mencintai negerinya, Indonesia.

Mengikuti pandangan demikian, sebenarnya literasi moderasi beragama perlu diarahkan dan difokuskan pada apa yang disebut pemahaman keagamaan yang tidak ekstrem kiri  atau kanan itu. Memang, banyak tafsirnya. Tapi, salah satu penafsiran, bagaimana umat Islam tidak terjebak pada pemahaman kiri (sosialisme/komunisme) maupun kanan (kapitalisme). Kedua godaan paham ini yang sejatinya harus dilawan.

Umat Islam, khususnya anak-anak muda, alih-alih punya spirit besar memperdalam Islam itu sendiri, justru malah sering terjebak paham-paham di atas. Misalnya, gandrung dengan apa yang dikenal dengan “Kiri Islam” yang seolah membela kaum lemah, kaum miskin, proletar, rakyat jelata. Tapi semuanya itu semu belaka, karena spiritnya adalah kebencian pada kelas tertentu ditambah lagi gerakannya tak berdimensi keTuhanan atau kenabian. Hasilnya adalah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Gerakan kiri, dalam sejarah Indonesia juga kelam. Dalam bentuk yang nyata, Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi bukti bagaimana pemahaman sosialisme/komunisme sangat membahayakan NKRI. Kenapa kelompok ini menghalalkan segala cara? Jelas, karena tak paham agama.

Sama halnya dengan kapitalisme. Dalam bentuk yang lebih “moderat” dengan istilah liberalisme. Ditubuh umat Islam, liberalisasi, liberalisme juga problematis. Di ranah agama, usaha liberalisme hanya sebatas semangat membongkar  doktrin agama. Tak lain. Arogansi akal sering menjadi pembenar tafsir mereka pada agama, padahal yang sering tampak  jelas justru akal tak sehat yang lebih banyak “bolongnya”. Proyek liberalisme agama dalam bentuk yang nyata seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) pada akhirnya gagal juga. Lantas, ke mana para aktivisnya? Cari payung lain. Misalnya dalam proyek Islam Nusantara. Sayangnya, juga kurang mendapatkan sambutan baik di mayoritas muslim. Selain dikalangan NU sendiri, itupun tak sepenuhnya juga warga NU menerima konsep Islam Nusantara. Ke mana lagi mereka bakal berlabuh. Salah satunya,  dalam proyek  “Literasi Moderasi Bergama” ini yang  dimotori aktivis Banser  NU (GP Anshor) yang kini jadi menteri agama.

Singkat kata, arus proyek literasi moderasi beragama ini tampak cantik di luar tapi bobrok di dalam. Proyek atau programnya tampak bagus, “Literasi Moderasi Beragama”, tapi di dalamnya hanya sekadar menyoal “radikal radikul” radikalisme, itupun dengan klaim-kalim yang sering tidak mendasar. Maka, menjadi penting untuk bersikap kritis terhadap proyek demikian. Selain hanya menghabur-haburkan uang, juga berpotensi memunculkan siap saling curiga, memunculkan kliam kebenaran dan memojokkan kelompok (Islam) lain.

Lalu, apa sikap terbaiknya? Saya kira, seperti ujaran bijak, kita harus”Kembali Ke Akar, Kembali Ke Sumber”. Bisa menjadi muslim yang pro keadilan, membela orang-orang tertindas tanpa harus menjadi penganut apa yang disebut “Kiri Islam”. Begitu juga bisa menjadi muslim yang progresif, berkemajuan tanpa menjadi penganut liberalisme, tanpa perlu menjadi liberal. Memang, ini sebuah jalan panjang, sebuah proses panjang menjadi muslim profetik (berkenabian) yang memiliki kesejatian dalam moderasi. [ ]