Komunikasi Forensik Praktis

komunikasi forensik

Pada sebuah acara talkshow televisi. Ngabalin, seorang pejabat kantor kepresidenan tak berkutik. Sebelumnya dia begitu memuji setinggi langit Ahok yang kini komisaris Pertamina. Tapi, lawan debat politiknya, Fadli Zon, hadir membawa satu lembar cetakan jejak digital. Sebuah foto Ngabalin yang menenteng poster “Ahok Pemecah Belah Bangsa”. Publik akhirnya bisa menilai sendiri makna tayangan tersebut.

Di kajian agama, kita mengenal istilah tafsir. Yaitu membaca tanda dengan ilmu pengetahuan, takwil membaca pesan dengan selera kita tanpa ada rujukan berarti, sementara talwin membaca pesan dengan kepentingan politik tertentu. Dalam ranah media sosial, semuanya itu kadang campur aduk tidak karuan. Hasilnya adalah kegaduhan-kegaduhan. Orang bicara apa saja, bebas bersuara apa saja tanpa basis pengetahuan yang mencukupi. Sebuah pertanyaan kecil, bagaimana ilmu komunikasi menjawab problem kontemporer demikian?

Kita masih ingat kasus Ahok yang menafsirkan ayat Al-Quran semaunya sendiri. Ngotot pula. Di media, terus membuat pernyataan-pernyataan atau narasi yang diarahkan untuk menutupi kesalahan yang dilakukan. Sama halnya dengan misalnya berbagai cara yang dilakukan pelaku kejahatan yang cenderung ingin menghindari jerat hukum. Di sini, sebuah studi yang menelisik adakah niat jahat yang disembunyikan dibalik ucapan-ucapannya menjadi penting. Maka, kemudian hadir apa yang disebut dengan komunikasi forensik.

Dalam dunia akademis, forensik tentu sebuah ilmu pengetahuan. Sama halnya ketika bicara komunikasi forensik. Tentu ada basis teorinya. Memang, berbeda-beda nama dan fokus perhatiannya. Hanya saja terdapat kesamaan dalam obyek pengamatan dan cara kerja setiap cabang forensik. Yaitu menemukan dan menafsirkan gejala-gejala fisik maupun non fisik yang terhubung langsung maupun tidak langsung dengan korban, pelaku, saksi serta lokasi dan waktu terjadinya kejahatan.

Dengan demikian, kita bisa memahami bagaimana komunikasi forensik sebagai ilmu menafsirkan bisa berguna dalam kehidupan praktis keseharian. Di mana, obyek komunikasi forensik adalah beragam jejak komunikasi yang ditinggalkan. Sedangkan inti dari komunikasi forensik adalah menafsirkan jejak-jejak komunikasi yang ditemukan, diteropong dengan keilmuwan memakai basis teori-teori komunikasi pemaknaan yang memadai. Komunikasi forensik dengan demikian berkepentingan menganalisis jejak pesan yang ditinggalkan pelaku.

Di ranah hukum, khususnya pengadilan, sebenarnya ahli komunikasi forensik bisa berperan menjadi saksi ahli. Yaitu memberikan kesaksian secara keilmuwan (saintifik). Sebagai saksi ahli, tentu tidak menyatakan benar atau salah kepada terdakwa karena yang demikian adalah ranah hakim. Tapi, memberikan perspektif keilmuwan yang bisa menjadi pertimbangan pengambilan keputusan.

Hanya, saja muncul pertanyaan. Siapa orang Indonesia yang misalnya benar-benar ahli komunikasi forensik? Atau misalnya punya “sertifikat” komunikasi forensik? Jawabnya, sependek pengetahuan saya adalah tidak ada.

Satu-satunya tokoh yang barangkali serius mengembangkan komunikasi forensik, sependek saya tahu hanya Prof. Ibnu Hamad, Guru Besar Ilmu Komunikasi UI. Di tahun 2017. Hanya saja, entahlah, apakah sudah ada perkembangan terbaru soal komunikasi forensik? Apakah saat ini misalnya sudah ada mata kuliah komunikasi forensik pada kampus S1, S2, S3 Ilmu Komunikasi? Saya tidak tahu. Tapi, saya masih memandang di ranah praktis, komunikasi forensik perlu terus diperbincangkan dan dipraktikkan.

Di ranah pengadilan, komunikasi forensik dapat menjadi masukan demi tercapainya rasa keadilan. Sementara, di ranah kehidupan keseharian, layaknya masyarakat kita yang sekarang begitu aktif di media sosial, kadang bebas menafsirkan apa saja seenaknya sendiri (semau gue).

Nah, ketika publik akrab dengan beragam teori pemaknaan untuk menafsirkan pesan, maka bisa menjadi pembelajaran publik. Layaknya penafsiran dengan memakai kaidah-kaidah ilmiah, maka bakal menghasilkan apa yang disebut dengan intersubyektivitas atau kesepahaman makna atas suatu pesan. Dengan begitu, kehidupan komunikasi publik bakal lebih bermakna dan tentu saja juga lebih beradab

(Yons Achmad. Praktisi Komunikasi. Tinggal di Depok).