Keajaiban Komunikasi Pertemuan Perdana

senyum tulus

Salah satu kunci keberhasilan membangun hubungan adalah daya pikat pada pertemuan pertama. Para motivator mungkin juga banyak menaruh perhatian dalam persoalan demikian. Kebanyakan, studi yang dikembangkan berdasar teori klasik Dale Carnegie tahun 1936 lewat bukunya yang konon terkenal “How to Win Friend and Influence People”. Pernyataan abadinya yang terkenal “Keberhasilan itu terletak pada senyum, peduli kepada orang lain dan membuat mereka nyaman dengan diri mereka sendiri”.

Banyak orang menawarkan nasihat yang sama. Banyak pula orang membaca beragam buku tentang bagaimana membangun hubungan. Tapi kali ini, baiklah kita fokus saja pada kata Dale itu. Ya benar, saya memang sering menemukan pencerahan dari beragam arah. Saya selalu mengusahakan setiap hari membaca buku, merenungkannya, mencoba mengamalkan dan tentu saja mencoba untuk berbagi. Kali ini, saya ingin refleksikan nasihat Dale itu.

Tak semua memang, tapi saya coba mengingat bagaimana dalam kehidupan daya pikat pertemuan pertama menjadikan hidup saya lebih baik dan saya berharap juga memberikan kebaikan pula pada sahabat, orang dekat dan teman yang saat ini masih menjalin hubungan. Saya coba ingat-ingat pertemuan perdana dalam karir,cinta dan persahabatan.

Dalam karir. Klien yang paling lama, seorang dokter. Saya telah menuliskan sekira 5 buku atas nama beliau. Pertemuan pertama di sebuah restoran. Pertama kali bertemu beliau langsung memuji “wah akhirnya saya ketemu penulis hebat”, beliau menatap saya sambil tersenyum, jabat tangan erat sekali, memesankan saya makanan yang bermutu, lanjut ngobrol dan sampai kini masih terus kontak. Tak sekadar urusan pekerjaan. Saat beliau ulang tahun, menikahkan anaknya, syukuran pernikahan, saya datang. Pertemuan pertama, saya terkesan, benar-benar merasa dihargai.

Dalam cinta. Pertemuan perdana di Bali. Saya tak berani menatap matanya. Bahkan saya “dicuekin abis”. Tapi saya tak mengapa diperlakukan seperti ini. Sudah biasa. Sakit hati? Iya sih, dikit. Justru saya coba kembali membangun hubungan. Merancang pertemuan kedua di rumah sakit tempatnya bekerja. Pada pertemuan ketiga di resto Mang Engking, UI Depok saya melamarnya di depan ibunya. Dan kini menjadi istri saya. Cerita bakal lain kalau dalam pertemuan pertama langsung menyerah.

Dalam persahabatan. Saya pernah tidak nyaman dengan seseorang sejak pertemuan pertama. Dia nyerocos terus, tidak pernah memberi kesempatan lawan bicara untuk ngomong. Tapi, saya coba nyaman mendengarkannya. Ternyata, di kemudian hari saya tahu, orangnya baik. Bahkan, sekian waktu kemudian memberikan beberapa project, pekerjaan yang lumayan. Bayangkan jika di awal pertemuan saya sakit hati, tidak nyaman dan kesal pada orang itu. Cerita berakhir pada pertemuan perdana. Betul kata orang, komunikasi itu bukan melulu bagaimana cara berbicara, tapi persoalan bagaimana mendengarkan.

Begitulah. Setiap orang pasti punya momentum pertemuan perdana. Masing-masing punya daya pikat tersendiri. Kita bisa belajar banyak dari momentum tersebut. Resep kuncinya, jangan pernah langsung menghakimi seseorang pada pertemuan pertama. Biarkan saja ketika kita punya kesan macam-macam pada seseorang. Terus rancang pertemuan kedua dan selanjutnya. Lalu, kita lihat, keajaiban-keajaiban dan keberhasilan hidup apa yang bakal terjadi selanjutnya.

(Yons Achmad. Praktisi Komunikasi. CEO Komunikasyik.com).