Jurnalisme bagi Pers Digital

ashadi siregar

Pada mulanya, media pers konvensional memanfaatkan teknologi digital untuk memperluas ekspansi informasi ke tengah masyarakat. Digitalisasi menjadi wahana promosi diri. Tetapi kemudian, teknologi baru yang datang bersama Revolusi Industri 4.0, terutama dengan masyarakat yang mabuk bermedia sosial digital, mengguncang media lama.

Perusahaan pers cetak gulung tikar dengan menghentikan penerbitan, disebut sebagai disrupsi dari teknologi digital.

Ada benarnya, tetapi perlu diingat bahwa kelangsungan hidup perusahaan media pers secara umum tidak dapat dilepaskan dari hukum besi segitiga: kapitalisasi, konsumen, dan periklanan. Ketiganya saling berkait, menjadikan perusahaan pers tangguh.

Investasi kapital sebagai dana operasional guna menggerakkan produksi, betapapun besarnya, mutlak harus didukung segmentasi konsumen media yang relevan dengan dunia komersial. Perusahaan media yang dapat suntikan kapital bakal berdarah-darah keuangannya manakala konsumennya tidak sesuai dengan kepentingan periklanan dunia korporasi

Ekosistem ekonomi

Penghentian penerbitan koran cetak dan beralih ke media pers digital memang menghapus biaya kertas yang mahal. Namun akan tetap terpuruk, kecuali didukung pelanggan berbayar dengan pemasukan yang dapat menopang operasional perusahaan.

Investor umumnya memandang bahwa perusahaan pers berbiaya besar untuk operasional personel, kecuali wartawan mau digaji di bawah standar minimum. Ini masalah kronis pada sebagian perusahaan pers di Indonesia.

Hal yang sama dialami portal berita yang muncul bak jamur di musim hujan dalam euforia teknologi digital. Secara umum, kesehatan perusahaan media, baik cetak, penyiaran, maupun digital, hanya akan terjaga dengan dukungan iklan komersial.

Iklan merupakan indikator ekosistem ekonomi yang dinamis, sekaligus darah bagi perusahaan media. Konsumen perusahaan media biasa disebut sebagai khalayak media, menjadi basis bagi keterbacaan media yang berlandaskan hubungan sosiologis media dan publik.

Hal penting di sini tak hanya berkaitan dengan jumlah konsumen, tetapi juga segmentasi atas dasar karakteristik sosiografis dan psikografis yang sesuai dengan kepentingan korporasi yang beriklan.

Organisasi pers ada yang menjadi media organik bagi organisasi atau institusi lain. Keberadaan media organik menyalahi kodratnya sebagai institusi sosial, sebab bersifat subordinasi yang kehilangan otonomi dan independensi.

Maka media pers memiliki sifat sebagai institusi media massa berorientasi pada publik, bukan media organik dari institusi negara, partai politik, korporasi, atau institusi sosial lain. Keberlangsungan media organik tentu harus disusui terus-menerus oleh institusi indungnya.

Perusahaan media pers secara empiris merupakan entitas dalam ekosistem ekonomi. Dari sini manajemen perusahaan menata hubungan dengan konsumennya. Artinya, karakteristik konsumen ditempatkan dalam konteks ekonomi.

Secara umum ekosistem ekonomi bersifat empiris dan rasional. Karena itu, konsumen yang dibangun atas dasar sentimen fanatisme atau ideologi semata, bukan atas dasar rasionalitas, tak memiliki fundamen. Maka, perusahaan media pers yang dijalankan dengan mengejar khalayak atas dasar sentimen fanatisme agama, misalnya, tidak kompatibel dengan ekosistem ekonomi.

Lebih jauh, khalayak semacam ini dipandang bukan sebagai konsumen yang potensial bagi korporasi beriklan. Hal yang sama juga pada segmentasi khalayak media pers yang tidak bernilai dalam rasio ekonomi karena sebagai ceruk pasar (niche) yang sempit, apalagi jika konsumen hanya relevan dengan produk dan jasa yang tidak beriklan secara masif.

Dengan begitu, remuknya media cetak tidak sepenuhnya dapat ditimpakan pada disrupsi yang datang dari teknologi digital. Memang berkurangnya khalayak media konvensional dan terutama tingginya biaya penggunaan kertas dapat dilihat sebagai variabel. Namun, tidak pula sepenuhnya beban biaya kertas mematikan penerbitan.
Industri perbukuan dengan produk fisik masih bertahan, sebab kapitalisasi untuk biaya operasional tidak sebesar media pers, dan dukungan konsumen melalui keterjualan produk, serta tidak dihidupi oleh iklan.

Tipuan klik media baru

Bukan hanya media cetak, pers digital pun sebagai media baru jatuh bangun dalam menghadirkan diri. Ini bermula dari konten yang disajikan bertolak dari motif mengejar iklan sehingga mengabaikan standar jurnalisme. Ada yang dilupakan bahwa jurnalisme bertolak dari motif melayani khalayak dengan memberikan informasi yang memberi kejelasan faktual dan pemberitaan sesuai kaidah kebenaran dan obyektivitas.

Fungsi pers pada hakikatnya membangun rasionalitas sebagai dasar interaksi dalam kehidupan di ruang publik. Dari sini manajemen perusahaan pers membangun hubungan ekonomis dengan khalayak guna menjadi dasar bagi tawaran periklanan. Sementara terlihat bahwa iklan pada dunia digital datang atas dasar dibukanya konten, bukan bertolak dari sifat segmentasi konsumen.

Akibatnya, pengelola pers digital tergerak hanya membuat teks yang mendorong khalayak mengeklik konten. Pengelola pers digital mengandalkan judul menggoda sebagai umpan klik (click bait) untuk membuat pembaca membuka konten, sedangkan isinya sama sekali tidak mencerminkan judul, begitu pun teks hanya berisi kata-kata tanpa kejelasan faktual.

Portal berita penyaji konten semacam ini akan ditinggalkan manakala literasi digital semakin sehat. Artinya, khalayak semakin terdidik dalam mengonsumsi konten digital, dalam hal ini tak terbujuk mengeklik konten agar tak lacur berkubang dalam teks yang mengecoh.

Dengan literasi jurnalisme, khalayak akan mengenali portal pemasang konten umpan klik yang buruk. Tipu-tipu melalui judul sensasional dan paragraf awal (lead) serta foto plus caption dan uraian teks palsu bikin kapok pembuka konten, dengan sendirinya akan dijauhi khalayak. Maka iklan pun lesap.

Dengan literasi digital yang semakin meningkat, portal berita yang mau bertahan harus mengubah pola konten yang bertumpu pada sensasi judul, untuk kembali ke format standar jurnalisme dengan teknik penyajian konten berupa konsistensi judul-lead-teks, dengan kejelasan informasi faktual dan keterbacaan bersifat efisien.

Konten dengan umpan klik selain mengecoh khalayak, juga kehadiran iklan yang mengikutinya sangat mengganggu keterbacaan. Dengan meninggalkan konten umpan klik dan bertolak dari jurnalisme standar, kiranya media pers digital diharapkan dapat meraih dukungan khalayak melalui langganan berbayar.

Ini bukan semata sumber ekonomis, melainkan menjadi penanda hubungan konkret bersifat sosiologis timbal balik khalayak dan media pers. Dari sini iklan dapat terpasang secara elegan, tidak dipaksakan saat konten dibuka.

Ashadi SiregarNovelis dan Pengajar Jurnalisme. Sumber. Harian Kompas. 3 Februari 2023.