Jebakan Isu Bubarkan MUI

mui bukan sarang teroris

Jebakan Isu Bubarkan MUI
Oleh: Yons Achmad
(Pengamat Komunikasi)

Apakah isu pembubaran MUI yang marak di media sosial itu serius? Tidak. Saya menilai, isu pembubaran MUI hanya semacam jebakan untuk mengalihkan perhatian. Pengalihan perhatian pada isu-isu kebijakan publik yang sebelumnya mendapatkan sorotan tajam. Kenapa isu bubarkan MUI yang dirayakan? Jelas,  karena isu itu sangat “Komentarable”.

Semua orang bisa ikut nimbrung. Persoalan argumen cukup mudah di “Googling”, tidak perlu analisis yang mendalam. Hasilnya, semua arus informasi khususnya di kalangan Islam, aktivis-aktivis Islam tercurah ke situ.

Bisa jadi, banyak yang bangga kalau misalnya tagar  #DukungMUI lebih banyak pendukungnya daripada tagar #MUISarangTeroris.  Lantas, menyimpulkan bahwa seolah itu kemenangan umat Islam dalam membangun opini. Tidak.  Fakta demikian, saya kira sebuah fenomena semu yang perlu ditafsirkan secara lebih jernih lagi.

Kenapa? Karena memang isu pokoknya bukan itu. Amat naif dan tidak masuk akal kalau sampai misalnya pemerintah benar-benar bakal bubarkan MUI. Ongkos politiknya untuk saat ini terlampau mahal. Walau, tentu tak menutup kemungkinan kelak MUI bisa jadi memang bakal dibubarkan dengan berbagai alasan. Tapi, untuk saat ini, saya kira masih jauh. MUI bakal tetap berdiri.

Satu hal yang sering terlupa adalah pola komunikasi, pola arus informasi. Banyak orang bilang fenomena ini  proyek pengalihan isu, boleh-boleh juga. Tapi, dalam kesempatan ini, saya hanya ingin sedikit mencerna bagaimana pola komunikasi itu terus berulang dan publik terus saja kecolongan.

Dalam arti, tiba-tiba harus menghadapi kenyataan dengan beragam kebijakan  publik yang tidak pro kepada rakyat banyak. Tapi, hanya menguntungkan segelintir elit, pengusaha, oligarki. Dari pola yang mengemuka, memang informasi demikian tak ada yang diuntungkan selain pemerintah yang mendulangnya.

Setidaknya, dalam beberapa pekan, informasi tentang amburadulnya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tertutupi, proyek pembangunan ibu kota baru yang tak lagi kencang mendapat sorotan padahal banjir di Kalimantan karena penggundulan hutan tak terbantahkan, belum lagi serba-serbi bisnis PCR dalam penanganan pandemi  Covid-19 yang melibatkan para pejabat pemerintah tampak mereda di media.

Kini, ramai-ramai media kita penuh dengan berita isu terorisme, bubarkan dan dukung MUI lengkap dengan beragam talkshow  di televisi yang tak pernah menghasilkan solusi tapi hanya debat dari dua sisi.

Lalu, siapa yang dirugikan? Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban. Itu sebabnya, menjadi penting  menyalakan kuasa publik untuk tak mudah  terombang-ambing, lebih tetapnya diombang-ambingkan oleh arus informasi demikian.

Para aktivis lingkungan mesti fokus pada isu-isu penyelamatan alam, pegiat kebijakan publik perlu terus mengawal beragam kebijakan pemerintah yang tak pro rakyat, sementara media tak perlu terus menari ketika gendang mulai dimainkan penguasa

Lantas, apakah ini berarti kita menyepelekan begitu saja isu terorisme? Tentu tidak. Bagaimanapun juga tindakan terorisme, dalam arti melakukan kekerasan fisik atas dasar ideologi dan politik yang mengakibatkan jatuhnya korban orang-orang biasa tanpa dosa tak dibenarkan. Publik mesti menolaknya karena NKRI bukan arena perang tapi ruang adu gagasan dalam iklim demokrasi.

Hanya, yang perlu diingat, ikut-ikutan menuduh ulama sebagai teroris tanpa melalui proses pengadilan juga tak dibenarkan. Kenapa? Karena hal itu adalah kekerasan verbal, sebentuk “Teror Wacana” yang hanya menambah kegaduhan tak berdasar  di ruang publik kita. []