Gerakan Literasi Sekolah Perlu Disemarakkan

gerakan literasi sekolah

Mengacu publikasi internasional, prestasi literasi siswa di Indonesia  memprihatinkan. Survei  PIRLS 2011 International Results in Reading, Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA, 2012).

Temuan lain, uji literasi membaca dalam PISA 2009 memperlihatkan bagaimana  peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57, data lainnya PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 .

Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012. Data PIRLS dan PISA, khususnya dalam keterampilan memahami bacaan, menunjukkan bahwa kompetensi peserta didik Indonesia tergolong rendah.

Tapi, benarkah kompetensi membaca kita memang rendah?

Di tingkat sekolah, barangkali memang begitu faktanya. Jangankan siswa, guru pun kalau disurvei boleh jadi dalam sebulan tak satupun buku yang dibaca. Tentu selain buku pelajaran. Untuk  bisa memberikan gambaran lebih tepat dan akurat, saya kira kita memang perlu melakukan survei  mandiri agar bisa mendapatkan data, informasi yang memadai sebagai pijakan pengambilan kebijakan bagaimana literasi ke depan mesti kita kerjakan.

Jangan hanya puas dengan hasil dari publikasi internasional, apalagi melihat semata hasil akhirnya, tanpa peduli bagaimana penelitian itu dilakukan seperti hasil dari PISA itu.

Tapi, terlepas dari itu, saya setuju dengan pidato Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan di televisi. “Minat baca bangsa kita ini tinggi, tapi daya baca rendah”.  Awalnya, saya agak berpikir sejenak, apa ini maksudnya.

Sampai, saya berkesimpulan, benar juga. Salah satu buktinya, mungkin kita bisa cermati, bahkan pengalaman kita sendiri.  Ketika berinterasi di Whatsapp (WA) misalnya, apalagi ketika mengikuti beragam group WA di mana informasi begitu cepat membanjiri.

Apa yang kita lakukan? Kita biasanya hanya membaca sepintas. Kalau postingan panjang, kita kerap malas membacanya, padahal bisa jadi justru itulah ulasan atau informasi yang dalam, valid, ilmiah.

Singkat kata, bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.  Inilah bukti bagaimana daya baca kita bisa jadi memang masih rendah.

Dilevel sekolah, kita sepertinya perlu juga mengapresiasi usaha penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca, ditandai dengan permendikbud No. 23 tahun 2015.

Selanjutnya, untuk memperoleh kualitas SDM siswa, dan juga tentunya mewujudkan SDM Indonesia secara keseluruhan, PR terbesarnya sebenarnya bagaimana daya baca kita itu tumbuh. Apa parameternya?

Jelas, semakin banyak gagasan dan pemikiran yang tersimpan sehingga semakin banyak pula produksi yang dihasilkan.  Salah satunya adalah siswa dan manusia Indonesia bisa menulis buku. Setidaknya, sekali dalam hidupnya.

Literasi sekolah, saya kira memang  perlu terus diberi arah. Sarana paling awal tentu saja menjadikan membaca sebagai bagian dari kehidupan keseharian. Selanjutnya berbagai ide, pemikiran melalui sebuah tulisan. Dengan usaha demikian, saya kira, mimpi terhadap dunia literasi yang bisa menumbuhkan misalnya sikap kritis, kedewasaan berpikir serta  matang pada setiap pengambilan keputusan dalam kehidupan bisa didapatkan. Itu semua mustahil hadir ketika orang malas membaca.

Itu sebabnya,  bersama tim Komunikasyik.com kami terus berkiprah hadir dalam menghidupkan literasi sekolah. Salah satunya dengan rutin menggelar pelatihan “Penulisan Kreatif” ke berbagai sekolah, terutama setingkat SMA atau Madrasah.

Semuanya itu sebagai bentuk kontribusi kami turut membantu dalam pelaksanaan program literasi sekolah agar lebih terarah dan bisa berjalan baik dengan pendampingan yang kami lakukan.

(Yons Achmad).