Filosofi Ketupat Lebaran

yons achmad

Filosofi Ketupat Lebaran
Oleh: Yons Achmad
(Pengamat Komunikasi. Pendiri Komunikasyik.com)

Ketupat lebaran menjadi media dakwah penyebaran nilai-nilai Islam tempo dulu. Di mana, para ulama, pendakwah Islam era itu, begitu mahir mencari cara bagaimana nilai-nilai Islam tetap hadir di dalam masyarakat untuk bisa menyatu dengan kebudayaan setempat. Dengan cara demikian, nilai-nilai Islam mudah diterima dan diamalkan. Pada akhirnya, kebudayaan bukan terpisah dari Islam. Tapi, kebudayaan hadir sebagai manifestasi ajaran Islam itu sendiri.

Di kampung saya, lereng Gunung Merapi-Merbabu Magelang, tradisi lebaran ketupat itu masih dilestarikan sampai sekarang. Bukan perayaan besar-besaran memang. Perayaan lebaran ketupat dilakukan setelah puasa sunnah 6 hari di bulan syawal oleh takmir masjid setempat yang dihadiri oleh para jamaah. Tidak ada acara macam-macam di sana. Intinya, makan-makan bersama. Ada suasana keharmonisan, kegembiraan dan kebahagiaan di sana.

Tapi, kalau kita tilik sejarah, kita akan menemukan makna yang dalam tentang ketupat lebaran ini. Konon, sebelum ajaran Islam akrab dengan masyarakat Jawa, sudah muncul tradisi ketupat. Era kerajaan kuno seperti Majapahit dan Pajajaran awalnya memuja Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan atau pertanian. Seiring perkembangan waktu, sosok Dewi Sri tak lagi dipuja sebagai sosok Dewi, tapi digantikan dengan simbol ketupat sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pemilik hidup. Lantas, Islam datang mewarnai kebudayaan yang tentu saja disesuaikan, diselaraskan dengan ajaran Islam.

Salah satu versi sejarah mencatat, Kerajaan Demak sudah menghadirkan ketupat sebagai simbol perayaan hari raya umat Islam pada masa itu. Di bawah kekuasaan pemerintahan Raden Patah yaitu sekitar abad ke-15, atas asuhan para Wali Songo, kebudayaan itu dipoles sedemikian rupa. Beberapa wali menggunakan pendekatan agraris dan budaya lokal setempat untuk memasukkan Islam ke pedalaman. Sunan Kalijaga yang namanya masyhur itu, konon yang memasukkan ketupat ke dalam beragam seremonial perayaan hari besar umat Islam agar mendapatkan hati rakyat pribumi yang memang sudah lama mengenal ketupat, tentu dengan perspektif yang baru. Kini, kita bisa memaknai kembali secara filosofis dibalik fenomena ketupat lebaran ini. Diantaranya:

Pertama, filosofi arti kupat (ketupat). Kata ini berasal dari Bahasa Jawa “Ngaku Lepat” (mengakui kesalahan). Prosesi mengakui kesalahan ini umumnya dilakukan dengan tradisi “Sungkeman”. Di mana anak-anak bersimpuh memohon maaf kepada orang tua dan mereka yang dituakan, sementara para orang tua atau mereka yang dituakan mendoakan serta memberikan petuah-petuah tentang kebajikan atau kebaikan hidup. Semuanya itu agar tidak sombong, angkuh atau melupakan orang tua ketika keberhasilan hidup tercapai. Tak melupakan orang tua dan kampung halaman.

Kedua, filosofi janur. Janur adalah daun kelapa muda sebagai pembungkusnya. Akronim dari “Jannah Nur” atau “Cahaya Surga”. Bisa diartikan juga sebagai “Jatining Nur” atau “Hati Nurani”. Sebuah kondisi bersih dan suci setelah berhasil menjalankan puasa ramadan dan syawal. Secara tak langsung, masyarakat Jawa diajarkan hidup dengan tak hanya berdimensi keduniaan semata, tetapi berdimensi akhirat. Kesemuanya itu hanya bisa dicapai dengan kebersihan jiwa, kebersihan hati. Dulu, sebelum ajaran Islam akrab di masyarakat Jawa, manusia yang penting “baik”. Baik kepada sesama manusia, itu sudah cukup. Lantas, Islam mewarnainya dengan kesempurnaan, “baik” kepada sesama manusia tak cukup, mesti dibarengi dengan “Baik di mata Allah SWT”. Tak lain tak bukan dengan melaksanakan syariat-syariatNya.

Ketiga, filosofi laku papat. Inilah filosofi laku yang mesti ditempuh. “Laku papat” sebagai manifestasi aksi. Layaknya sebuah kupat (ketupat), berbentuk empat sudut , di mana dalam membentuknya dimulai dengan proses pembentukan rangkanya. Itulah yang sering dimaknai dengan kalimat syahadat. Artinya, setelah menjadi seorang muslim, orang Jawa tak cukup “baik” saja. Tapi bisa melaksanakan “Laku Papat”. Tak lain tak bukan shalat, puasa, zakat dan haji. Intinya demikian. Mungkin terkesan “Otak Atik Gathuk” alias “Cocoklogi”. Tapi, itulah tafsir yang bisa kita temukan dalam tradisi kebudayaan ketupat lebaran.

Sebenarnya, masih banyak tafsir lain. Beragam makna filosofis yang bisa kita dapatkan. Misalnya, anyaman ketupat yang sangat rumit, menggambarkan bagaimana lika-liku kehidupan manusia begitu penuh drama, pasti ada kesalahan di dalamnya, sehingga meminta maaf adalah tradisi muslim Jawa untuk merobohkan keangkuhan dan kesombongan diri. Makan ketupat dengan santan (santen) mengingatkan semuanya itu. Santen berarti “pangapunten”, mengakui kesalahan. Parikan Jawa menyebutkan “mangan kupat nganggo santen, menawi lepat nyuwun pangapunten” (makan ketupat pakai santan, bila ada kesalahan mohon dimaafkan”. Itulah secuil filosofi ketupat lebaran yang bisa saya “jlentrehkan”.