Fahri Hamzah, Plonga-Plongo dan Kegemasan Politik

yons achmad

Fahri Hamzah, Plonga-Plongo dan Kegemasan Politik
Oleh: Yons Achmad
(Pengamat Komunikasi, tinggal di Depok)

Dalam politik, usaha politisi untuk bisa terkenal dan jadi perbincangan media itu harga mati. Persoalan dikenal baik atau buruk, itu persoalan lain. Itulah yang dilakukan Fahri Hamzah, petinggi Partai Gelora. Dengan gayanya yang ceplas-ceplos dan lantang, kembali jadi viral dengan komunikasi politik “Oposisi Plonga-Plongo”, “Oposisi Gaya Doang,” dst. Kritik habis “Rumah Lama” (PKS). Diakui atau tidak coba sekalian naikkan pamor Partai Gelora besutannya. Berhasil? Tergantung dari mana melihatnya.

Sebagai mantan anggota DPR dari PKS, semua orang tahu, Fahri memang dikenal vokal terhadap kekuasaan. Hal in terbukti saat dia masih menjadi politisi PKS. Tapi, kemudian realitas politik bercerita lain. Bersama mantan presiden PKS, Anis Matta, mendirikan partai baru, Partai Gelora dengan slogannya yang cukup mentereng “Arah Baru”. Bagi saya, apa yang dilakukan Fahri Hamzah itu semacam kegemasan politik saja. Dia gemas melihat opisisi, dalam hal ini PKS yang dinilai lebih banyak diam terhadap kekuasaan.

Lantas, apa reaksi PKS? Saya kira santai saja. Soal adab dan kesantunan politik, PKS sudah teruji. Bagaimana harus berjuang di ranah politik praktis tanpa melupakan basis moral dalam Islam. Dalam kasus sentilan kegemasan politik Fahri Hamzah ini, saya kira sikap tenang PKS juga teruji. Tapi, jika terus-terusan “Diledek”, PKS bakal ambil sikap tegas pula. Tegasnya seperti apa? Kita lihat saja. Yang pasti, dalam kasus ini, ada baiknya juga bagi publik.

Kalau melihat PKS, orang mungkin menilai “Jamaah” ini homogen, padahal sebenarnya tidak juga. Banyak juga kasak-kusuk dan konflik internal, tapi biasanya selesai dengan syuro (musyawarah). Ketika keputusan sudah diambil, pantang kader “mbalelo” alias melawan kebijakan. Itulah yang menjadikan PKS relatif adem-ayem saja, minim konflik. Jika ada kader yang menyerang, kritik rumah sendiri, tak masalah. Nah, yang menjadi problem adalah Fahri Hamzah sudah keluar dari “Rumah Lama” tapi kemudian “nyerocos” seenaknya. Ini yang barangkali membuat PKS, petinggi maupun kader-kader di bawahnya kesal dibuatnya. Wajar sebagai manusia.

Tapi, terlepas dari semua itu, bagi publik (rakyat) ada hikmahnya juga. Gaya Fahri Hamzah memang seperti itu. Tak masalah, kabar baiknya tokoh ini juga politisi bersih. Setidaknya sampai saat ini, tidak terciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Biarkan ini menjadi aset bangsa. Dengan hadirnya “Kegemasan Politik” itu, setidaknya publik kemudian menjadi tahu kerja-kerja PKS sejauh ini dalam beroposisi. Setelah publikasi terbuka atas kontribusinya.

Sikap PKS sendiri mengambil oposisi, dengan istilah yang disebutnya “Oposisi Konstruktif”. Akan terus bersuara, terdengar atau tidak terdengar, didengar atau tidak didengar. Lantas, apa saja sikap dan kerja-kerja politik PKS menyuarakan rakyat sekaligus kritik terhadap pemerintahan Jokowi? Boleh dilihat di akun resmi mereka. Yang pasti kini muncul “serangan” balik. Misalnya tagar #Koalisiplongaplongo membahana di Twitter. Tentu, sebuah respon dan kreativitas netizen yang tak bisa dianggap remeh.

Yang pasti sekarang, dalam komunikasi politik: media atau media sosial menjadi semacam ruang publik. Meminjam pemikir filsafat komunikasi Jerman, Jurgen Habermas, ruang publik diartikan sebagai tempat terjadinya beragam pertukaran dan pergulatan gagasan baik kultural, politik maupun ekonomi. Ruang publik ini menyaratkan adanya zona netral di mana tidak ada dominasi di dalamnya. Nah sekarang, genderang “perang” Fahri Hamzah telah ditabuh. Tinggal publik menonton, siapa yang kira-kira bakal memenangkan peperangan opini ini. []