Evaluasi Komunikasi Pandemi

evaluasi komunikasi pandemi

Narasi dan ilustrasi yang menggugah sense of urgency penting dalam strategi komunikasi penanganan Covid-19. Masyarakat tidak boleh dibiarkan mendefinisikan rasa aman berdasarkan subyektivitasnya masing-masing.

Berita utama Kompas tentang ancaman Covid-19 di jalur pantura (8-9/7/2020) membuka percakapan saya dengan keluarga di kampung halaman. Saya menanyakan kondisi keluarga dan geliat ekonomi di wilayah pantura pada masa pandemi Covid-19.

Jawaban keluarga memberikan harapan sekaligus kekhawatiran terkait efektivitas komunikasi pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Harapan tecermin dari rutinitas keluarga yang menanti informasi terkini harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Mereka memiliki kesadaran untuk meluangkan waktu menyimak paparan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 walau tidak ada paksaan seperti halnya liputan khusus pada masa Orde Baru. Sayangnya, update harian Covid-19 ini menjadi legitimasi melakukan mobilitas di luar rumah dengan kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang minim.

Mengapa persepsi ini tidak menggambarkan tujuan utama komunikasi publik di masa pandemi untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran mematuhi protokol kesehatan?

Mungkin, persepsi ini mengonfirmasi hasil survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) 2020 tentang bagaimana pelaku sektor informal dan masyarakat berpendapatan rendah merespons kebijakan penanganan Covid-19. Sebanyak 73 persen masyarakat yang berpenghasilan harian tetap bekerja di masa pandemi (SMRC, 2020).

Selain tuntutan kebutuhan ekonomi, mereka berusaha membangun kepercayaan diri untuk beraktivitas di luar rumah secara ”bebas” berbasis narasi optimistis pemerintah dalam penanganan Covid-19. Optimisme yang berlebihan dalam narasi komunikasi di masa pandemi berpotensi memunculkan rasa aman semu dan kelengahan publik bahwa kita masih dalam kondisi at risk (tertular) dan a risk (menularkan).

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 selalu melakukan konferensi pers untuk memperbarui data setiap hari. Pada 7 Juli 2020, juru bicara pemerintah Achmad Yurianto memaparkan perkembangan penanganan Covid-19 di Indonesia selama 9,24 menit. Durasi ini di luar paparan dr Reisa Broto Asmoro tentang perkembangan riset untuk menemukan vaksin Covid-19 di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Struktur konferensi pers Gugus Tugas dapat dibagi dalam beberapa bagian. Pertama, paparan jumlah spesimen dan jumlah konfirmasi positif. Kedua, sebaran konfirmasi positif dan angka kesembuhan. Ketiga, perbandingan kinerja Indonesia dengan rata-rata global dalam jumlah testing, angka kesembuhan, dan angka kematian. Keempat, sebaran provinsi terpapar. Kelima, kapasitas pelayanan rumah sakit dan tenaga medis. Keenam, penutup.

Selain berisi tentang data baru dan upaya persuasi untuk taat terhadap protokol kesehatan, tampak sekali adanya upaya untuk mempromosikan kinerja baik Gugus Tugas dan optimisme melalui berbagai perbandingan data. Misalnya, paparan jumlah kasus positif baru yang tinggi di sejumlah provinsi dilanjutkan dengan angka kesembuhan.

Pilihan kata namun untuk menghubungkan tingginya kasus positif dan angka kesembuhan menunjukkan bahwa ada tujuan untuk menekankan pada angka kesembuhan dibandingkan kasus positif. Penekanan terhadap angka kesembuhan dilanjutkan kembali ketika memaparkan provinsi-provinsi yang angka kesembuhannya lebih tinggi daripada kasus positif baru.

Dalam konteks regulasi di masa pandemi, pilihan narasi ini kontraproduktif untuk membangun kesadaran publik terhadap besarnya ancaman dan krisis yang sedang dihadapi. Narasi yang menekankan angka kesembuhan berpotensi menciptakan persepsi bahwa mencegah untuk tertular (at risk) atau menularkan (a risk) tidak memerlukan usaha yang extraordinary.

Apabila terinfeksi virus Covid-19 pun tidak perlu khawatir karena kapasitas rumah sakit masih cukup dan ribuan pasien Covid-19 sudah dinyatakan sembuh seperti paparan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Oleh sebab itu, narasi krisis tidak terinstitusionalisasi secara baik dalam penanganan Covid-19. Jumlah kasus positif baru di Indonesia masih saja di atas 1.000 setiap hari. Bahkan, kasus positif baru pecah rekor pada 8 Juli 2020 dengan jumlah 1.853. Jumlah ini tidak juga pula meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang ditetapkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Evaluasi narasi komunikasi

Tujuan utama narasi komunikasi publik di masa krisis adalah be alert, not alarmed. Untuk mencapai tujuan ini, ada beberapa langkah perubahan yang harus dilakukan dalam tata kelola komunikasi pandemi oleh pemerintah.

Pertama, mengubah penekanan narasi data dari angka kesembuhan ke kasus positif. Konferensi pers Covid-19 harus menggambarkan secara jelas bahwa kondisi darurat masih berlaku di Indonesia.

Angka kasus positif baru bisa menjadi alert publik bahwa virus Covid-19 masih ada di tengah-tengah masyarakat. Tingginya kasus positif baru menunjukkan bahwa setiap orang sangat berpotensi tertular atau berpotensi menimbulkan risiko (a risk) kematian bagi orang lain yang lebih rentan karena berbagai penyakit lainnya.

Kedua, komunikasi publik Gugus Tugas juga harus menekankan narasi jumlah kematian karena Covid-19. Saat ini, angka kematian tidak menjadi fokus narasi pada setiap konferensi pers.

Angka kematian memang diperbarui setiap hari. Namun, durasi penyampaiannya sangat singkat dibandingkan dengan paparan angka kesembuhan. Kematian hanya dilihat sebagai ”angka”. Meski angka kematian pernah mencapai 82 orang (5 Juli 2020), Gugus Tugas mengklaim Indonesia pada jalur yang benar karena persentase kematian kian menurun.

Simplifikasi kematian dalam ukuran angka menyakiti rasa kemanusiaan. Negara harus melihat satu nyawa warganya sangat berarti dalam menyusun regulasi di masa pandemi. Misalnya, Daniel Andrews (Kepala Negara Bagian Victoria, Australia) menyatakan bahwa kematian dua warganya karena Covid-19 pada Juli 2020 sudah cukup untuk menjadi dasar kebijakan lockdown kedua kalinya di Melbourne. Berapa pun angkanya, kematian itu sangat menyedihkan bagi keluarga dan juga negara.

Ketiga, ilustrasi yang menggugah sense of urgency penting dalam strategi komunikasi penanganan virus yang tidak kasatmata ini. Masyarakat tidak boleh dibiarkan mendefinisikan rasa aman berdasarkan subyektivitasnya masing-masing.

Belajar praktik baik dari Australia, pemerintah mengilustrasikan ancaman Covid-19 seperti bush fire (kebakaran semak-semak) yang baru saja melanda Australia. Ilustrasi ini mengingatkan bahwa kepatuhan dan kecepatan respons menjadi kunci untuk menghentikan bencana yang mematikan ini.

Keempat, model komunikasi satu arah tak sejalan dengan iklim demokrasi. Gugus Tugas perlu membuka sesi tanya jawab dengan jurnalis dalam setiap konferensi pers. Sebagai salah satu pilar demokrasi, jurnalis punya peran penting menjembatani kebutuhan informasi masyarakat dengan pengambil kebijakan. Sesi tanya jawab juga bermanfaat untuk mengonfirmasi berita hoaks yang berpotensi menyesatkan publik.

Kelima, pemilihan juru bicara pemerintah dalam penanganan Covid-19 harus merepresentasikan pentingnya masalah ini dalam tata kelola pemerintahan. Juru bicara adalah wajah pemerintah yang penting untuk membangun kepercayaan publik dalam kondisi krisis.

Kejelasan status dalam struktur pemerintah, kemampuan dan pembawaan yang mampu menarasikan kondisi krisis dengan baik, menjadi dasar penunjukan juru bicara. Tidaklah elok apabila ketenaran juru bicara pemerintah di masa krisis dikapitalisasi secara personal dengan menjadi bintang iklan komersial.

Bahruddin, Pengajar Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM. (Sumber: Kompas 17 Juli 2020)