Komunikasi Empati Atas Tragedi

SRIWIJAYA AIR 2

Awal tahun tragedi kembali terjadi. Kali ini tragedi jatuhnya pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 182 yang memakan banyak korban jiwa. Setiap datangnya tragedi, saat itu juga empati kita diuji. Empati yang paling berkontribusi (berguna) tentu saja sebuah aksi. Seperti yang dilakukan oleh beragam lembaga filantropi muslim di tanah air.

Informasi yang sempat saya catat, beragam lembaga filantropi bergerak cepat. Rumah Zakat Action, di awal tragedi langsung terjun meluncur ke posko pencarian lokasi musibah. Menyiapkan makanan dan minuman untuk para satgas, relawan dan petugas. Juga, membuka Pos Segar untuk keluarga korban yang sedang menunggu perkembangan informasi terkait musibah tersebut di posko utama Crisis Center Bandara Supadio, Pontianak.

Tak ketinggalan, Aksi Cetap Tanggap (ACT) bergabung dengan Tim SAR membantu proses pencarian pesawat Sriwijaya Air SJ 182. Sementara, Dompet Dhuafa ikut membantu evakuasi korban dengan menerjunkan tim penyelam, satu armada Barzah serta ambulan lengkap dengan dokter dan perawat. Begitulah kontribusi dan empati nyata mereka.

Bagaimana dengan kita? Yang mungkin belum diberi kesempatan ikut turut aksi di lapangan. Tentu, cara paling sederhananya adalah menahan diri untuk tidak berkomentar. Terutama di media sosial (medsos). Menahan diri untuk tak terjebak ikut-ikutan melakukan aksi tak empatik yang hingga detik ini masih banyak dilakukan orang. Baik disadari atau tidak.Misalnya berkomentar “Makanya kalau di pesawat HP dimatiin, “Itu kalau nggak salah pilotnya kadrun ya,”

Sementara, beberapa media nasional juga memperlihatkan aksi tak empatik. Contoh memberi judul berita “Menengok Keindahan Pulau Lancang, Titik Hilangnya Pesawat Sriwijaya Air, “ Segini Gaji Plot Sriwijaya Air”. Pemberitaan yang hanya memanfaatkan peristiwa untuk dieksploitasi demi konten. Sebuah logika bisnis yang hanya mengejar keuntungan tanpa peduli dan berempati kepada korban. Ini hanya beberapa contoh saja.

Itu sebabnya, komunikasi empati perlu terus dinyalakan. Empati sendiri, seperti dipaparkan Idi Subandi Ibrahim dalam buku “Sirnanya Komunikasi Empatik” berasal dari kata Einfuhlung yang semula digunakan oleh seorang psikolog Jerman. Kata ini secara harfiah berarti “Merasa terlibat” (Feeling Into). Pentingnya empati atau “Merasa terlibat” dalam komunikasi ini biasanya seringkali dihubungkan dengan pembahasan mengenai persepsi dan kemampuan dalam mendengarkan.

Terkait dengan kasus di atas, menjadi penting empati itu dihadirkan. Dengan lebih banyak mendengarkan suara korban. Baik oleh mereka yang bekerja di lingkaran industri media (cetak, online, elektronik) maupun publik yang kini dengan mudah mengelola “medianya” sendiri lewat penggunaan media sosial (Twitter, Instagram, Facebook, Youtube, Tiktok). Termasuk dalam interaksinya dengan beragam group Whatsapp (WA). Dengan hadirnya komunikasi yang empatik demikian, tak hanya sekadar bisa menyejukkan suasana. Tapi juga turut serta mengasah sisi kemanusiaan kita. Agar lebih banyak bisa mendengar “suara” sesama.

(Yons Achmad. Praktisi Komunikasi. CEO Komunikasyik.com).