Dongeng untuk Anak, Sebaiknya Jangan !

kisah anak

Dongeng untuk Anak, Jangan !
Oleh: Yons Achmad
(Praktisi Komunikasi. CEO Komunikasyik)

Dongeng selalu akrab dikaitkan dengan anak. Banyak  yang menyarankan orang tua rajin membacakan dongeng atau mendongengkan anak-anak. Dulu, saya juga begitu. Rajin membacakan dongeng-dongeng untuk anak. Dongeng apa saja. Yang penting ada pesan moralnya. Ketika anak saya bersekolah di sebuah sekolah Islam,  baru kemudian saya sadari, ternyata hal ini kurang tepat. Ternyata, bukan dongeng  yang seharusnya diajarkan. Tapi apa? Kisah.

Ya, ini adalah skala prioritas. Sejak kecil anak perlu diajarkan, didengarkan, diperkenalkan tentang kisah-kisah, bukan dongeng. Apa bedanya? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) membedakannya.  Dongeng artinya tidak benar-benar terjadi alias cerita khayalan semata. Sementara, kisah adalah cerita tentang kehidupan seseorang. Ini bukan dongeng, tapi benar-benar terjadi. Itu sebabnya, kalau menimbang skala prioritas, lebih baik anak-anak, khususnya bagi keluarga muslim, kisah harus diperkenalkan lebih dahulu.  Bukan dongeng yang mengada-ada.

Apalagi, di dalam Al-Quran sendiri sepertiganya adalah kisah. Sementara, kisah sendiri, merujuk buku “Kisah-Kisah Nubuwat Dari Nabi” karya DR. Umar Sulaiman Al-Asyar berasal dari kata Al-Qishash. Dalam bahasa Arab, Qishash berarti berita-berita yang diriwayatkan dan diceritakan. Al-Quran menyebut berita-berita tentang orang-orang tedahulu yang diceritakan kepada kita sebagai qishash.  Itu sebabnya, sekolah-sekolah Islam terbaik menjadikan kisah sebagai bagian dari kurikulum pendidikan.

Menguatkan hal itu, buku “Ar-Rasul Al-Mu’alim” karya Abdul Fattah Abu Ghuddah memberikan pemahaman bahwa seringkali  Rasulullah memberikan pengajaran kepada para sahabatnya dengan menceritakan kisah-kisah dan kejadian yang menimpa umat-umat terdahulu. Kisah memberikan kesan yang baik, lebih menarik perhatian, lebih mendorong mereka untuk mencurahkan semua tenaga dan perhatian serta merasuk ke dalam hati dan telinga secara maksimal.

Dengan pemahaman demikian, saya kira bagi  kita, keluarga muslim yang ingin melahirkan generasi dengan fikroh (pemikiran) yang baik dan lurus, sudah saatnya fokus pada pengajaran kisah, bukan kepada dongeng-dongeng. Dengan beragam kisah dalam Al-Quran maupun kisah-kisah sahabat, itu sudah terlalu banyak. Artinya, buat apa menyibukkan anak dengan dongeng-dongeng yang tidak jelas sumbernya? Dengan ini pula, bagi juru dongeng (pendongeng) muslim, sudah saatnya pula merebranding diri sebagai juru kisah. Bukan pendongeng, tapi pengisah atau pengkisah. Istilah ini bisa disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Tapi, intinya seperti itu.

Perlu diingat di sini, saya tidak antipati dengan misalnya dongeng-dongeng daerah tertentu dengan kearifan lokalnya masing-masing. Hanya, di sini saya bicara skala prioritas saja. Semua memang kembali kepada pilihan masing-masing. Terakhir, ada satu pertanyaan kecil. Kenapa Indonesia banyak koruptor? Ya wajar saja. Kenapa? Karena sejak kecil yang diajarkan dongeng tentang kancil nyolong (mencuri)  timun. Ini candaan saja. Intinya, kisah dulu, dongeng belakangan. Kalau perlu jangan. []