City Branding Depok Kota Buku

Perpus UICity Branding Depok Kota Buku
Oleh: Yons Achmad
(Praktisi Komunikasi. Pendiri Komunikasyik.com)

Depok sebagai Kota Buku. Ini bayangan spontan saya ketika seorang kawan menanyakan Depok ingin dikenal sebagai apa?  Nama  daerah Depok memang banyak. Tapi, yang saya maksud adalah Depok, Jawa Barat.  Sejauh ini, yang saya tahu, Depok memang telah meluncurkan konsep dan strategi city brandingnya sebagai kota bersahabat (A friendly city).

Saya kira, konsep ini perlu dibicarakan ulang. Kenapa? Lihat saja, Depok bersahabat apanya? Di media, kalau sepintas kita saksikan, yang kerap muncul pemberitaan maraknya begal motor. Belum lagi isu-isu “nggak jelas” misalnya soal “Babi Ngepet”. Ini yang kemudian memantik saya untuk sekadar mewacanakan sebuah alternatif, bagaimana kalau Depok kita sebut saja sebagai Kota Buku. Sepertinya menarik.

Memang, ada yang berpandangan, Depok menjadi daerah yang nyaman untuk tempat tinggal. Ada benarnya juga. Depok dengan sumber mata air yang cukup baik, masih banyak ruang terbuka hijau, tidak terlalu panas plus harga tanah dan rumah yang masih terjangkau pasangan muda. Yang paling penting tentu Depok tak jauh dari pusat kota Jakarta. Kalau ini yang disebut nyaman dan bersahabat boleh juga. Tapi, bagaimana dengan kontribusi terbaiknya? Kita akan coba bicarakan.

Kalau kita lihat sepintas dalam komunikasi pemasaran, City Branding sering dikenal sebagai strategi komunikasi dalam mempromosikan suatu daerah dengan tujuan menunjang pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Istilah ini mulai berkembang sejak diberlakukannya sistem otonomi daerah melalui Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak itulah daerah mulai menawarkan potensinya masing-masing, terutama dari sektor pariwisata.

Kemudian, satu hal yang paling menonjol dalam persoalan city branding (kalau boleh dikatakan latah) adalah munculnya istilah-istilah berbahasa Inggris. Entah atas pertimbangan apa, yang pasti itulah yang kemudian muncul. Misalnya, Surabaya dengan Sparkling Surabaya, Jogja Never Ending Asia, Semarang The Beauty of Asia, Solo The Spirit of Java, termasuk Depok A Friendly City. Apakah kemudian branding kota ini nempel dibenak masyarakat dan bisa meraih keberhasilan? Setiap daerah punya parameter masing-masing mengukur keberhasilannya.

Terlepas dari itu, ide Depok sebagai Kota Buku, saya kira tidak mengada-ada. Kita lihat bagaimana Depok memiliki Universitas Indonesia, salah satu kampus terbaik di Indonesia dan  sekian kampus lain yang juga mewarnai kota Depok. Begitu juga dengan warganya yang dikenal terdidik (well educated). Sementara, misalnya di sepanjang jalan kota Depok, menjamur begitu banyak percetakan digital plus banyak sekali kafe-kafe tempat mangkal anak-anak muda terpelajar. Ini adalah potensi yang perlu dirawat dan dikembangkan.

Depok sebagai Kota Buku, kita bayangkan Depok sebagai simbol intelektualitas. Dengan masyarakat terdidiknya (well educated) Depok bisa berkiprah dalam upaya “How to Solve the Problem”, dalam arti Depok menjadi sentra (basis) pemikiran solutif beragam masalah kebangsaan dan kenegaraan. Dengan dikenal semacam itu, saya kira Depok bisa memerankan kiprah terbaiknya.

Sejarawan JJ Rizal yang juga warga Depok, dalam sebuah wawancara media pernah mengatakan bahwa untuk melihat identitas Depok bisa dengan melihat nama Depok itu sendiri. Dikatakan bahwa, banyak tempat yang memiliki nama Depok dan itu identik dengan ruang untuk merenung, berpikir. Jadi nama Depok  artinya bisa dikatakan merenung. Hal-hal yang bisa menguatkan Depok menjadi kota perenungan atau kota tempat orang-orang berpikir adalah ditandai dengan dipindahkannya Universitas Indonesia dari Jakarta ke Depok.

Pertanyaannya, dengan menggulirkan Depok sebagai Kota Buku, apakah bisa mendatangkan wisatawan dan bisa meningkatkan kesejahteraan warganya? Saya kira bisa. Depok kelak kita bayangkan sebagai destinasi wisata intelektual. Menjadi rujukan bagi mereka yang haus dengan buku-buku terbaru dengan wacana dan pemikiran paling anyar. Begitu juga menjadi rujukan bagi tempat gelaran acara akademis seperti FGD, talkshow, seminar dan pelatihan-pelatihan tematis.

Kita bisa bayangkan Depok, lebih khusus di Jalan Margonda menjadi sentra percetakan buku murah. Kafe-kafe, termasuk angkringan-angkringan tak sekadar menjadi tempat nongkrong, tapi menjadi ajang diskusi dan tukar pikiran. Perpustakaan UI atau Perpustakaan Depok ramai dengan kunjungan mereka yang haus akan khazanah intelektual dan buku-buku.

Hotel-hotel di Depok penuh dengan gelaran acara seminar, diskusi, pelatihan. Ada acara tahunan pesta (festival) buku di alun-alun kota Depok. Sementara, penerbitan buku menjamur di seputaran UI. Ini bukan angan semu, tapi sangat mungkin terealisasi. Dampaknya, kuliner Depok juga menjadi hidup, pembukaan lapangan kerja baru di bidang perbukuan dan konten kreatif menjadi terbuka lebar.

Hasilnya, “wisatawan” banyak yang berkunjung ke Depok  dengan tujuan seperti saya ceritakan di atas dan kesejahteraan  masyarakat otomatis meningkat. Ini sebuah tawaran menarik. Persoalannya sekarang, bukan bisa atau tidak bisa. Tapi, apakah pemerintah Kota Depok mau atau tidak mau mengimplementasikannya. []