Berpikir Filosofis Era Pandemi

filosofi

Filsafat dalam pengertian sederhana diartikan sebagai sebuah disiplin ilmu yang membahas segala sesuatu yang ada (kenyataan, realitas) secara rasional, radikal (mengakar) dan menyeluruh (komprehensif). Melihat beragam kekacauan, kehebohan, kedangkalan, akal pendek manusia, era pandemi Covid-19, terutama dalam soal kebijakan publik pemerintah, maka diperlukan cara berpikir  filosofis agar kehidupan menjadi benar, pas dan bermakna.

Berpikir filosofis membantu kita menjalani kehidupan ini dengan lebih manusiawi. Sejauh ini, barangkali kita tidak punya landasan berpikir yang cukup dalam melihat realitas, dalam memandang realitas. Dengan keterbatasan demikian, menjadikan kita terombang-ambing dalam arus opini orang lain yang dihembuskan melalui  beragam media. Baik berita di koran, media online, televisi maupun media sosial. Hasilnya apa? Kita tidak punya kemandirian berpikir.

Berpikir filosofis membantu kita punya kemandirian berpikir dengan basis informasi (referensi) yang cukup, ketajaman analisis, serta kematangan argumentasi. Sebagai langkah awal, kita bisa melakukannya dengan mengaplikasikan cara berpikir berikut:

Pertama, rasional (masuk akal). Gagalnya penanganan Covid-19 oleh pemerintah dengan beragam kebijakannya yang amburadul bisa dilihat dalam ranah ini. Pejabat publik kita dari awal sudah tak rasional dalam memandang Covid-19. Dengan serampangan bicara di media Covid-19 tidak bakal masuk ke Indonesia. Yang dilakukan justru menguatkan dunia pariwisata. Padahal, bandara dibuka lebar-lebar, turis asing dan pekerja asing bebas ke luar masuk. Ketidakrasionalan ini yang kemudian menjadikan Covid-19 “menggila” di negeri kita.

Kedua, radikal (mengakar). Rupanya, pemerintah belum sadar juga. Masih melihat Covid-19 akar masalahnya bukan problem kesehatan, tapi problem ekonomi. Hasilnya, bisa kita saksikan sekarang ini. Alih-alih perekonomian membaik, yang terjadi justru sebaliknya, perekonomian memburuk, sementara problem kesehatan, penanganan Covid-19 semakin terpuruk. Nyawa  anak bangsa terus melayang karena kegagalan pemerintah dalam melihat akar masalah. Bukan prioritas kesehatan, tapi prioritas perekonomian.

Ketiga, menyeluruh (komprehensif). Pada akhirnya, beragam kebijakan yang dilakukan kedodoran. Yang terpikirkan hanya bagaimana angka statistik Covid-19 bisa menurun atau setidaknya melandai. Kebijakan yang dilakukan pembatasan gerak masyarakat, penyekatan di mana-mana. Orang dipaksa kerja di rumah (yang tak semua bisa melakukannya). Mungkin bisa menekan grafik Covid-19 , tapi, kebijakan yang tak komprehensif ini hanya banyak menyisakan tangis masyarakat bawah. Tanpa jaminan makanan, hanya menjadikan masyarakat semakin menderita. Sementara, ketidakadilan kita saksikan di mana-mana. Restoran besar yang melanggar protokol kesehatan, cukup di denda Rp.500 ribu saja, sementara pedagang kecil berani melanggar, denda Rp. 5 juta. Ini hanya salah satu contoh kecil pemandangan yang diakibatkan kegagalan melihat fenomena Covid-19 secara menyeluruh.

Berpikir filosofis ini, sebenarnya sangat membantu. Terutama bagi para pemegang kebijakan, para pejabat publik, politisi, juga tokoh-tokoh agama. Saya percaya bahwa beragam kebijakan yang pas dan bijak bakal lahir dari basis rasionalitas, berpijak pada akar masalah dan menyeluruh dengan menimbang keadilan bagi kaum yang terpinggirkan (marjinal). Di level masyarakat bawah, hal ini sudah terbangun, bagaimana di level negara (pemerintahan)? Kritik kebijakan harus terus dilancarkan, agar korban tak terus bertumbangan.

[Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok]