Bahasa Cinta

bahasa cinta

Bahasa Cinta
Oleh: Yons Achmad
(Praktisi Komunikasi Profetik)

Saat di depan cermin

“Ayah, aku cantik nggak?”

“Cantik he he..”

“Yah, nggak tulus nih.”

Bahasa cinta. Saya tak pandai mengungkapkannya. Bahkan, ketika saya pertamakali kenal dengan seorang perempuan istimewa yang kini menjadi istri, saya tak berani mengungkapkannya. Baru sebulan kemudian saya menyatakannya. Bukan bilang “Aku mencintaimu,” tapi langsung bilang “Menikahlah denganku,”. Sebuah bahasa cinta yang simpel semata. Tiga bulan setelah menyatakan keinginan serius itu, kami menikah. Sesederhana itu. Walau, dalam perjalanannya tentu ada sedikit drama.

Setelah menikah ternyata bahasa cinta itu macam-macam. Seorang suami, mungkin sering bilang ke istrinya dengan panggilan sayang, say, cin dll. Apakah itu bahasa cinta? Iya. Itu salah satunya. Seorang suami baik mungkin sering mengucapkan hal itu. Yang membuat rumah tangga terlihat tampak romantis. Walau jujur, saya jarang mengungkapkannya. Saya cukup memanggilnya “Bund”, sama ketika anak-anak juga memanggil ibundanya dengan sebutan demikian. Maaf.

Lalu, apa bahasa cinta yang lain?

Kalau bahasa cinta tadi bisa kita bilang dengan bahasa afirmasi secara verbal (verbalisasi cinta), maka ternyata ada banyak bahasa cinta lain. Misalnya, bahasa pelayanan. Bagaimana seorang suami misalnya dengan sukarela memandikan anak-anak mereka, mengepel lantai, mencuci piring atau menyapu teras halaman rumah. Itulah bahasa pelayanan yang bisa dilakukan.

Ada lagi bahasa sentuhan, tentu hal ini bukan semata hubungan seksual semata. Tapi, memeluk istri dari belakang, mengecup kening, membelai rambutnya. Ternyata, konon katanya bisa menambah romantisme dalam sebuah keluarga.

Bahasa cinta lain yang disukai seorang istri apa? Jelas. Bahasa hadiah. Dulu, saya sering secara tiba-tiba belikan hadiah ke istri. Tapi, bukanya dia malah senang, tapi salah melulu. Kini, kalau sedang ada sedikit rezeki, bahasa hadiahnya cukup jalan-jalan di sekitar rumah dan membiarkannya menyomot yang dia suka. Tentu, tak pernah mahal, karena dia paham kondisi keluarga kami yang memang sederhana saja.

Tapi, sebenarnya, ada bahasa cinta lain yang begitu penting dalam keluarga. Apa itu? Bahasa kebersamaan. Tak hanya soal obrolan kebersamaam tentang bagaimana nasib karier masing-masing. Karier suami atau karier istri. Tapi, yang lebih penting bagaimana selalu intens ngobrol bareng tentang visi (arah) keluarga mau dibawa ke mana.

Inilah bahasa cinta yang paling berat bagi sebuah keluarga muslim. Memang, cita-cita membawa keluarga menuju JannahNya itu sudah jelas. Tapi, bagaimana setiap anggota keluarga bisa punya kontribusi terbaiknya untuk keluarga, sesama dan peradaban? Semua itu perlu terus dan terus selalu dibicarakan, diobrolkan dan tentu saja diamalkan. []