Adab Bermedia Sosial

adab bermedia sosial

Adab Bermedia Sosial
(Sebuah Terobosan Menjadi Manusia Profetik)
Oleh: Yons Achmad
WA: 082123147969
(Praktisi Komunikasi. Pendiri Komunikasyik.com)

Judul Buku : Adab dan Fiqih Bermedia Sosial
Penulis : Ir. Munawar, Ph.D.
Penerbit: Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Depok
Tebal: 287 halaman
Tahun Terbit: September 2020

Bagi orang Islam, menjadi muslim profetik (berbasis kenabian) adalah sebuah keharusan. Idealnya memang begitu. Keseluruhan dari kehidupan seorang muslim, sudah sewajarnya, sudah sepantasnya selaras dengan apa yang telah diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW dengan Al-Quran sebagai referensi utamanya.  Teorinya begitu. Tapi praktiknya tak seindah dan seideal yang dibayangkan. Terlebih, perkembangan teknologi dan komunikasi begitu pesat memasuki ruang kehidupan umat manusia. Perkembangan terbaru, kini kita begitu akrab dengan apa yang disebut dengan dunia media sosial (medsos).

Bagaimana Islam menjawab tantangan zaman itu? Bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapi media sosial? Sebuah buku menarik berjudul “Adab dan Fiqih Bermedia Sosial” karya Ir. Munawar, Ph.D.  memberikan jawaban atas persoalan ini. Sebuah buku yang diterbitkan di akhir tahun 2020 ini, sepertinya perlu dibedah agar kita punya tafsir baru serta pemahaman yang lebih mencerahkan tentang bagaimana seorang muslim bersikap atas gegap gempita kehidupan  di era media sosial sekarang ini.

Pertamakali memegang buku ini, pikiran saya melayang. Teringat salah satu jilid buku “Fatwa-Fatwa Kontemporer” karya ulama besar Dr. Yusuf Qardhawi dengan sampul dominan berwarna biru. Harapan saya, tentu seperti ketika membaca buku-buku karangan beliau.  Penuh wawasan dengan alternatif pemikiran, bukan konsep doktrinal. Selain itu, sampul belakang buku ini berisi komentar Dr. Adian Husaini yang mengatakan buku ini semacam panduan ringkas dan jelas dalam bermedia sosial.  Tapi, apakah isinya benar demikian?

Layaknya buku panduan,  biasanya sekadar memaparkan “Langkah-Langkah” atau “Tips dan Trik”.  Dikalangan aktivis dunia literasi, buku panduan atau buku “How To”  sering diolok-olok sebagai buku “Softex” alias sekali pakai (baca) buang. Tapi, apakah buku karangan Doktor lulusan UTM (Universitas Teknologi Malaysia) ini sekadar buku panduan semacam itu? Ternyata tidak. Buku ini, bagi kalangan awam  sepertinya tergolong “Berat”. Tak sekadar “Tips dan Trik” tapi lebih dari itu, memaparkan konsep-konsep  penting bagaimana seorang muslim bermedia sosial dengan perspektif Islam (profetik).

Perspektif Islam profetik sendiri saya kenal lewat pemikiran cendekiawan Muhammadiyah, Prof Kuntowijoyo (alm) dalam buku “Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi”. Cakupannya cukup luas. Hanya saja, pokok pikirannya merujuk pada surat Ali-Imran ayat 110 “Kalian adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk mengajak kebaikan (amar maruf), mencegah kemungkaran (nahi munkar) dan beriman kepada Allah SWT”. Sebuah cita-cita perubahan sosial  menuju tatanan masyarakat yang humanis (manusiawi), liberasi (pembebasan) dan transendensi (BerkeTuhanan).

Dalam praktiknya, lebih khusus dalam “Membaca” buku ini, akan saya dekati dengan perspektif komunikasi profetik. Sebuah praktik pembacaan yang tidak hanya mengandalkan rasio/akal seperti anjuran Plato. Atau mereka yang sekadar memuja empiri/pengalaman seperti yang diajarkan Aristoteles. Semua itu adalah hasil ilmu pengetahuan sekuler. Tapi, yang utama adalah menyoroti bagaimana wahyu (Al-Quran) menuntun setiap gerak umat Islam, termasuk dalam bermedia sosial. Lebih tepatnya seperti dikatakan Dr. Iswandi Syahputra (2017) dalam buku “Paradigma Komunikasi Profetik”, Bagaimana menghadapkan Al-Quran pada realitas (media) sosial dan bagaimana wahyu ditempatkan sebagai sumber bagi terbentuknya konstruksi sosial.

Buku ini, saya kira menuju ke arah sana. Disadari atau tidak oleh penulisnya. Mengajak pembaca untuk menyikapi secara benar bagaimana berinteraksi dengan media sosial selaras dengan spirit profetik (Berbasis kenabian). Mengajak orang untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial, memberikan rambu-rambu agar tidak terjebak dalam penggunaan media sosial yang salah serta menyelaraskan bagaimana nilai-nilai Islam dipergunakan dalam praktik bermedia sosial agar sesuai “Maunya Allah SWT”.

Garis besar buku ini berisi tentang bagaimana potret dunia siber dan implikasinya dalam kehidupan sosial, interaksi umat dengan media sosial, potret kejahatan dan tindak susila di media sosial, “adab” berguru kepada “Ustaz Google” sampai bagaimana pengasuhan anak di dunia siber. Keluasan cakupan bahasan menjadikan buku ini perlu dibaca oleh santri, pelajar, mahasiswa bahkan orang tua.

Bagian awal buku ini memotret bagaimana pengguna internet di Indonesia menempati posisi enam dunia dengan jumlah mencapai 112 juta (data e-marketer 2017), memotret hukum menggunakan internet dan langsung menukik menyoroti Undang-Undang  ITE (Informasi Transaksi Elektronik). Memaparkan beberapa pasal sebagai rujukan melakukan aktivitas siber. Sayangnya, belum mengulas  bagaimana perkembangan dan praktik terbaru UU ITE ini. Misalnya, bagaimana kondisi saat ini, UU ITE ini yang filosofi awalnya untuk melindungi publik dari beragam kejahatan transaksi elektronik kemudian bergeser menjadi alat untuk memenjarakan orang yang berbeda pandangan atas nama pencemaran nama baik.

Selanjutnya BAB “Muslimah dan Internet”. Menjadi pertanyaan penting? Kenapa penulis begitu fokus menyoroti soal keterkaitan muslimah dengan internet? Rupanya penulis begitu risau dengan merebaknya kasus kejahatan terhadap perempuan. Di mana dikatakan bahwa media sosial dan kemudahannya untuk diakses memiliki akibat buruk dengan meningkatnya Cyber Violence Against Woman (CVAW). Dilihat dari kajian feminisme kontemporer, bidikan penulis terhadap nasib perempuan demikian bolehlah dikatakan sebagai bentuk kepedulian berperspektif gender. Sebuah kesadaran profetik (kemanusiaan) atas penghargaan terhadap kaum perempuan dan turut serta berempati atas nasib yang dialami. Sementara, bagaimana hubungan laki-laki dan perempuan di dunia siber juga dibahas dengan pandangan-pandangan Islam yang menyertainya.

Bahasan yang hangat tentang media sosial mulai terasa ketika membaca BAB V  “Interaksi Sosial di Dunia Siber”.  Spirit yang coba dipaparkan penulis adalah spirit Nahi Munkar, melawan kejahatan (liberasi).  Beragam problem seperti pencemaran nama baik, cyber bulying, penyebaran berita bohong (hoaks), unggah keluhan atau riya’ di medsos, tindak kesusilaan (cyber pornography, cybersex), pencurian akun, peretasan akun, persekusi, pinjaman online, jual beli follower sampai tindakan doxing (publikasikan data pribadi seseorang tanpa izin pemilik) dipaparkan agar pembaca bisa terhindar dari tindakan-tindakan semacam ini. Dipaparkan dengan sentuhan aspek legal formal perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Diperkaya juga dengan khazanah bagaimana Islam memandang beragam problem tersebut dalam sudut pandang penulisnya.

Dari sekian problem yang dibahas penulis, satu tema yang menggelitik adalah soal sektarianisme. Penulis mengartikan sektarianisme sebagai istilah yang menggambarkan keterikatan berlebihan seseorang terhadap aliran agama, etnis atau partai yang menaunginya. Dalam tingkatan yang paling ekstrim, sektarianisme dapat berbentuk aksi persekusi terhadap individu lain yang tidak sealiran (hal 122). Dicontohkan kasus seperti ajaran khilafah yang berasal dari ajaran Islam dan justru dipandang berbahaya. Mengapa sampai terjadi hal seperti ini kalau bukan karena pembelaan atau kekhawatiran yang berlebihan? Kekhawatiran yang berlebihan ini juga ditujukan kepada komunitas 212 yang selalu dituding anti NKRI.

Dua BAB terakhir “Berguru Kepada Ustaz Google” dan “Cyber Parenting: Pengasuhan Anak di Dunia Siber”. Kedua BAB ini tentu menarik, hanya saja sepertinya lebih cocok untuk dikembangkan menjadi buku tersendiri. Yang pertama membahas bagaimana tradisi keilmuwan dalam Islam dikontekskan dalam dalam pembelajaran. Yang kedua bagaimana keluarga muslim (orang tua) seharusnya dalam mendidik anak di era siber, khususnya era media sosial. Sebuah tantangan tersendiri bagi penulis untuk mengembangkan dua BAB tersebut menjadi masing-masing sebuah buku yang utuh.

Terlepas dari semua itu, hadirnya buku ini tentu perlu diapresiasi. Buku yang bisa turut mewarnai khazanah Islam, khususnya terkait kontribusinya dalam melawan gelombang perang pemikiran (Ghazwul Fikri).  Sebuah bahan yang bisa dijadikan, meminjam istilah Dr. Adian Husaini sebagai “Dialog Intelektual”. Sebuah buku yang menyoroti fenomena media sosial dilihat  tak hanya dari aspek legal formal perundang-undangan di tanah air, tapi juga dari kacamata Islam (Adab dan Fiqih). Hasilnya, menjadikan pembacanya selalu bisa menghadirkan Allah SWT dalam setiap gerak langkahnya,  terutama dalam bermedia sosial.  Sebuah buku yang perlu dikoleksi dan dibaca setiap anggota keluarga. Termasuk Anda. []