ACT Digempur Jangan Mundur

act

Di sebuah group WA, ramai pemberitaan Tempo yang soroti kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT). Sebuah lembaga kemanusiaan yang berdiri dan berpikrah sejak tahun 2005. Awalnya, saya lihat cover Majalah Tempo berjudul “Kantong Bocor Dana Umat”. Di kaver ditampilkan, gambar orang (petinggi ACT) berdiri di mobil mewah, dipanggul beberapa pengawai ACT dan “umat”. Lengkap dengan penggambaran bagaimana pendiri dan pengelolanya dituduh memakai donasi masyarakat untuk kepentingan pribadi.

Saya baca salah satu judul berita: “Bagaimana petinggi ACT Menyelewengkan Donasi”, salah satunya muncul pemberitaan entah dari mana sumbernya, ditulis permintaan uang 11 milyar untuk dana pesantren peradaban di kampung halaman Ahyudin, pendiri ACT. Padahal, belum terbukti tuduhan ini benar atau tidak. Menarik, muncul lagi info yang katanya dari mantan petinggi yang menyebut Ahyudin, Dewan Pembina ACT bergaji 250 juta/bulan. Tuduhan lain, di daerah terjadi penggelapan dalam program Lumbung Ternak Wakaf.

Informasi berseliweran. Saya menangkap intinya. Bahwa lembaga kemanusiaan ACT sedang “Digempur Tempo”. Sebagai media, mungkin Tempo memang terapkan sebuah “Hadist Jurnalisme” yaitu “Katakan yang benar walau pahit”. Hasilnya, berita itu tak hanya bikin heboh kalangan pegiat filantropi, tapi juga mendapatkan sorotan yang tajam dari masyarakat. Salah satunya, akibat pemberitaan itu, tak pelak muncul persepsi miring terhadap ACT dan tentu saja berdampak pada lembaga filantropi lain.

Saya tak akan menyoroti bagaimana dugaan penyelewengan itu. Tapi, saya akan lebih memotret bagaimana krisis lembaga, krisis komunikasi yang sedang melanda. Selanjutnya, mencoba menarik titik terang agar kita tidak terjebak kepada permainan dan narasi media yang tentu saja tidak lepas dari problem utama menggiring opini masyarakat. Berikut beberapa pandangan saya.

Pertama, fokus ke inti persoalan. Pemberitaan Tempo itu sejatinya sedang menggempur jantung kepercayaan. Dugaan penyelewengan dana itu tuduhan serius. Lembaga kemanusiaan hidup dari kepercayaan masyarakat, tanpa kepercayaan tidak bakal berjalan. Tentu, tak perlu misalnya menyalahkan Tempo sebagai media. Yang perlu dikatakan oleh pucuk pimpinan ACT yang baru adalah berkata jujur, apa adanya dan meluruskan semua tuduhan dalam pemberitaan. Benar atau tidak katakan saja. Biar publik yang kemudian menilainya.

Kedua, isu gaji dan fasilitas mewah. Isu yang menyebutkan gaji petinggi ACT sebesar 250 juta/bulan sebenarnya tidak begitu menjadi persoalan, walau tentu ini juga menjadi perdebatan. Saya dalam posisi setuju bahwa pekerja sosial mendapatkan gaji yang tidak hanya layak tapi juga besar. Tentu, besar di sini juga menenuhi unsur kepantasan, dan ini urusan internal lembaga kemanusiaan (filantropi). Hanya saja, memang juga perlu memerhatikan pegawai paling bawah. Artinya juga mendapat upah/gaji yang layak. Tidak njomplang dengan para petingginya.

Ketiga, persoalan citra lembaga. Jelas, akibat kasus ini, ACT tidak akan pernah sama lagi dengan sebelumnya. Menjadi tantangan tersendiri. Kasus ini menjadi jalan bagi ACT untuk memperbaiki diri. Di sini, point saya, mesti “ACT Digempur, Jangan Pernah Mundur”. Artinya, kasus ini benar-benar menjadi menjadi momentum bagi kepemimpinan ACT berikutnya dalam perbaikan. Baik dari segi personal maupun manajemen kelembagaan. Upaya ACT untuk ke luar dari badai masalah, tak hanya penting bagi ACT. Tapi, juga bisa menjadi pembelajaran bagi lembaga filantropi lain.

Keempat, soal serangan media. Seperti yang saya bilang di awal, tugas media salah satunya memang kontrol sosial. Tempo, sudah melakukannya. Tapi, bagaimanapun juga media punya agenda tersendiri. Tak hanya agenda politik media, tapi politik “ekonomi media” juga. Jadi, menelan mentah-mentah dan percaya begitu saja media menjadi masalah tersendiri. Menyalakan sikap kritis tetap perlu. Misalnya, soal data-data, semuanya berasal dari sumber “anonim”. Media punya hak untuk itu, misalnya untuk melindungi “keselamatan” narasumber. Tapi, dalam kenyataannya, data yang disampaikan sering tendensius, hanya menguntungkan pihak tertentu dan kadang menyudutkan pihak lain. Itu sebabnya perlu bijak membaca data.

Kelima, awas jebakan propaganda. Ketika media giring opini, jelas itu propaganda. Itu sebabnya perlu hati-hati benar membaca inti masalah. Dalam kasus ini, ACT ada masalah benar. Perlu ada perbaikan. Tapi, setelah baca berita media, kemudian publik terkena terpaan arus di media sosial, lantas pikiran buruk mulai datang dan bermunculan, ini bahaya. Misalnya, kemudian berkesimpulan semua lembaga filantropi seperti yang digambarkan Tempo semua, maka saat itulah Anda terkena propaganda media. Maka, jernihkan pandangan. Lihatlah fakta, bagaimana lembaga-lembaga filantropi semacam itu benar-benar telah punya kontribusi besar di masyarakat. Bantuan bencana, bantuan sosial bagi yang kurang mampu, beasiswa, bantuan pembangunan beragam layanan publik dll. Semuanya itu lembaga filantropi punya kiprah masing-masing.

Terakhir, dalam konteks penanganan komunikasi krisis, kasus yang menimpa ACT itu tidak lagi berada dalam tahap peramalan krisis (forecasting) atau pencegahan (prevention) tapi berada dalam tahap intervensi penanganan (intervention). Pertanyaannya, bagaimana meminimalisir dampak krisis sekaligus mengakhiri krisis? Di sinilah kepemimpinan ACT punya peran yang begitu penting.

Untuk itu, salah satu solusinya, diperlukan aktivitas public relations (PR) untuk menyediakan pesan-pesan yang relevan pada situasi krisis, lewat dialog antara lembaga (organisasi) atau personal dengan publik. Prosedur dialog yang dilakukan secara dua arah (two ways communications). Itulah yang lazim disebut dengan komunikasi krisis. Inilah yang perlu dilakukan, dialog, bukan sebatas klarifikasi masing-masing pihak dengan tujuan menyelamatkan citra diri sendiri.

Begitulah, ACT perlu terus melakukan dialog baik dengan kalangan internal, begitu juga publik, stakeholder lain dan juga asosiasi yang menaungi. Dan yang terpenting, terus membuka dialog dengan media. Termasuk dengan media-media Islam, jurnalis-jurnalis muslim yang saya yakin siap membantu mewartakan fakta (kebenaran) yang sesungguhnya. Ya, media dan komunitas jurnalis muslim. Sebuah komunitas penting yang sejauh ini jarang dirangkul dan dilirik oleh lembaga filantropi (Islam).

(Yons Achmad. Praktisi Komunikasi. CEO Komunikasyik.com)